Pengertian Hukum Islam, Sumber dan Tujuan
Pengertian hukum islam atau syariat islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya. Dan hal ini mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul untuk melaksanakannya secara total. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diperintahkan Allah Swt untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan amaliyah.
Syariat Islam menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk menuju kepada Allah Ta’ala. Dan ternyata islam bukanlah hanya sebuah agama yang mengajarkan tentang bagaimana menjalankan ibadah kepada Tuhannya saja. Keberadaan aturan atau sistem ketentuan Allah swt untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah Ta’ala dan hubungan manusia dengan sesamanya. Aturan tersebut bersumber pada seluruh ajaran Islam, khususnya Al-Quran dan Hadits.Definisi hukum Islam adalah syariat yang berarti aturan yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi SAW, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan) yang dilakukan oleh umat Muslim semuanya.
Sumber Hukum-Hukum Islam
Hukum Islam bukan hanya sebuah teori saja namun adalah sebuah aturan-aturan untuk diterapkan di dalam sendi kehidupan manusia. Karena banyak ditemui permasalahan-permasalahan, umumnya dalam bidang agama yang sering kali membuat pemikiran umat Muslim yang cenderung kepada perbedaan. Untuk itulah diperlukan sumber hukum Islam sebagai solusinya, yaitu sebagai berikut:
Hukum Islam bukan hanya sebuah teori saja namun adalah sebuah aturan-aturan untuk diterapkan di dalam sendi kehidupan manusia. Karena banyak ditemui permasalahan-permasalahan, umumnya dalam bidang agama yang sering kali membuat pemikiran umat Muslim yang cenderung kepada perbedaan. Untuk itulah diperlukan sumber hukum Islam sebagai solusinya, yaitu sebagai berikut:
1. Al-Quran
Sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran, sebuah kitab suci umat Muslim yang diturunkan kepada nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Al-Quran memuat kandungan-kandungan yang berisi perintah, larangan, anjuran, kisah Islam, ketentuan, hikmah dan sebagainya. Al-Quran menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang ber akhlak mulia. Maka dari itulah, ayat-ayat Al-Quran menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu syariat.
Sumber hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran, sebuah kitab suci umat Muslim yang diturunkan kepada nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Al-Quran memuat kandungan-kandungan yang berisi perintah, larangan, anjuran, kisah Islam, ketentuan, hikmah dan sebagainya. Al-Quran menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang ber akhlak mulia. Maka dari itulah, ayat-ayat Al-Quran menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu syariat.
2. Al-Hadist
Sumber hukum Islam yang kedua adalah Al-Hadist, yakni segala sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, diamnya beliau. Di dalam Al-Hadist terkandung aturan-aturan yang merinci segala aturan yang masih global dalam Al-quran. Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka dapat berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Rasulullah SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum Islam.
Sumber hukum Islam yang kedua adalah Al-Hadist, yakni segala sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, diamnya beliau. Di dalam Al-Hadist terkandung aturan-aturan yang merinci segala aturan yang masih global dalam Al-quran. Kata hadits yang mengalami perluasan makna sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka dapat berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Rasulullah SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum Islam.
3. Ijma’
Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena setelah zaman mereka para ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua ulama telah bersepakat.
Kesepakatan seluruh ulama mujtahid pada satu masa setelah zaman Rasulullah atas sebuah perkara dalam agama.” Dan ijma’ yang dapat dipertanggung jawabkan adalah yang terjadi di zaman sahabat, tabiin (setelah sahabat), dan tabi’ut tabiin (setelah tabiin). Karena setelah zaman mereka para ulama telah berpencar dan jumlahnya banyak, dan perselisihan semakin banyak, sehingga tak dapat dipastikan bahwa semua ulama telah bersepakat.
4. Qiyas
Sumber hukum Islam yang keempat setelah Al-Quran, Al-Hadits dan Ijma’ adalah Qiyas. Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut.
Sumber hukum Islam yang keempat setelah Al-Quran, Al-Hadits dan Ijma’ adalah Qiyas. Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut.
Artinya jika suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kasus dalam agama Islam dan telah diketahui melalui salah satu metode untuk mengetahui permasalahan hukum tersebut, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu dalam suatu hal itu juga, maka hukum kasus tersebut disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya.
Macam-Macam Hukum Islam
Tiap sendi-sendi kehidupan manusia, ada tata aturan yang harus ditaati. Bila berada dalam masyarakat maka hukum masyarakat harus dijunjung tinggi. Begitu pula dengan memeluk agama Islam, yaitu agama yang memiliki aturan. Dan aturan yang pertama kali harus kita pahami adalah aturan Allah. Segala aturan Ilahi dalam segala bentuk hukum-hukum kehidupan manusia tertuang di Al-Qur’an, yang dilengkapi penjelasannya dalam hadits Nabi SAW. Berikut ini adalah macam-macam hukum Islam,
Tiap sendi-sendi kehidupan manusia, ada tata aturan yang harus ditaati. Bila berada dalam masyarakat maka hukum masyarakat harus dijunjung tinggi. Begitu pula dengan memeluk agama Islam, yaitu agama yang memiliki aturan. Dan aturan yang pertama kali harus kita pahami adalah aturan Allah. Segala aturan Ilahi dalam segala bentuk hukum-hukum kehidupan manusia tertuang di Al-Qur’an, yang dilengkapi penjelasannya dalam hadits Nabi SAW. Berikut ini adalah macam-macam hukum Islam,
1. Wajib
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan diberi siksa. Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum wajib adalah shalat lima waktu, memakai hijab bagi perempuan, puasa, melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu, menghormati orang non muslim dan banyak lagi.
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan diberi siksa. Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum wajib adalah shalat lima waktu, memakai hijab bagi perempuan, puasa, melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu, menghormati orang non muslim dan banyak lagi.
2. Sunnah
Sunnah ialah sesuatu perbuatan yang dituntut agama untuk dikerjakan tetapi tuntutannya tidak sampai ke tingkatan wajib atau sederhananya perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan mendapatkan siksaan atau hukuman. Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum sunnah ialah shalat yang dikerjakan sebelum/sesudah shalat fardhu, membaca shalawat Nabi, mengeluarkan sedekah dan sebagainya.
Sunnah ialah sesuatu perbuatan yang dituntut agama untuk dikerjakan tetapi tuntutannya tidak sampai ke tingkatan wajib atau sederhananya perbuatan yang jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan mendapatkan siksaan atau hukuman. Contoh dari perbuatan yang memiliki hukum sunnah ialah shalat yang dikerjakan sebelum/sesudah shalat fardhu, membaca shalawat Nabi, mengeluarkan sedekah dan sebagainya.
3. Haram
Haram ialah sesuatu perbuatan yang jika dikejakan pasti akan mendapatkan siksaan dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Contoh perbuatan yang memiliki hukum haram adalah berbuat zina, minum alkohol, bermain judi, mencuri, korupsi dan banyak lagi.
Haram ialah sesuatu perbuatan yang jika dikejakan pasti akan mendapatkan siksaan dan jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala. Contoh perbuatan yang memiliki hukum haram adalah berbuat zina, minum alkohol, bermain judi, mencuri, korupsi dan banyak lagi.
4. Makruh
Makruh adalah suatu perbuatan yang dirasakan jika meninggalkannya itu lebih baik dari pada mengerjakannya. Contoh dari perbuatan makruh ini adalah makan bawang, merokok dan sebagainya.
Makruh adalah suatu perbuatan yang dirasakan jika meninggalkannya itu lebih baik dari pada mengerjakannya. Contoh dari perbuatan makruh ini adalah makan bawang, merokok dan sebagainya.
5. Mubah
Mubah adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh agama antara mengerjakannya atau meninggalkannya. Contoh dari mubah adalah olahraga, menjalankan bisnis, sarapan dan sebagainya.
Mubah adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan oleh agama antara mengerjakannya atau meninggalkannya. Contoh dari mubah adalah olahraga, menjalankan bisnis, sarapan dan sebagainya.
Tujuan Sistem Hukum Islam
Sumber hukum syariat Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadist. Sebagai hukum dan ketentuan yang diturunkan Allah swt, syariat Islam telah menetapkan tujuan-tujuan luhur yang akan menjaga kehormatan manusia, yaitu sebagai berikut.
Sumber hukum syariat Islam adalah Al-Quran dan Al-Hadist. Sebagai hukum dan ketentuan yang diturunkan Allah swt, syariat Islam telah menetapkan tujuan-tujuan luhur yang akan menjaga kehormatan manusia, yaitu sebagai berikut.
1. Pemeliharaan atas keturunan
Hukum syariat Islam mengharamkan seks bebas dan mengharuskan dijatuhkannya sanksi bagi pelakunya. Hal ini untuk menjaga kelestarian dan terjaganya garis keturunan. Dengan demikian, seorang anak yang lahir melalui jalan resmi pernikahan akan mendapatkan haknya sesuai garis keturunan dari ayahnya.
Hukum syariat Islam mengharamkan seks bebas dan mengharuskan dijatuhkannya sanksi bagi pelakunya. Hal ini untuk menjaga kelestarian dan terjaganya garis keturunan. Dengan demikian, seorang anak yang lahir melalui jalan resmi pernikahan akan mendapatkan haknya sesuai garis keturunan dari ayahnya.
2. Pemeliharaan atas akal
Hukum Islam mengharamkan segala sesuatu yang dapat memabukkan dan melemahkan ingatan, seperti minuman keras atau beralkohol dan narkoba. Islam menganjurkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu dan mengembangkan kemampuan berpikirnya. Jika akalnya terganggu karena pesta miras oplosan, akalnya akan lemah dan aktivitas berpikirnya akan terganggu.
Hukum Islam mengharamkan segala sesuatu yang dapat memabukkan dan melemahkan ingatan, seperti minuman keras atau beralkohol dan narkoba. Islam menganjurkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu dan mengembangkan kemampuan berpikirnya. Jika akalnya terganggu karena pesta miras oplosan, akalnya akan lemah dan aktivitas berpikirnya akan terganggu.
3. Pemeliharaan atas kemuliaan
Syariat Islam mengatur masalah tentang fitnah atau tuduhan dan melarang untuk membicarakan orang lain. Hal ini untuk menjaga kemuliaan setiap manusia agar ia terhindar dari hal-hal yang dapat mencemari nama baik dan kehormatannya.
Syariat Islam mengatur masalah tentang fitnah atau tuduhan dan melarang untuk membicarakan orang lain. Hal ini untuk menjaga kemuliaan setiap manusia agar ia terhindar dari hal-hal yang dapat mencemari nama baik dan kehormatannya.
4. Pemeliharaan atas jiwa
Hukum Islam telah menetapkan sanksi atas pembunuhan, terhadap siapa saja yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar. Dalam Islam, nyawa manusia sangat berharga dan patut dijaga keselamatannya.
Hukum Islam telah menetapkan sanksi atas pembunuhan, terhadap siapa saja yang membunuh seseorang tanpa alasan yang benar. Dalam Islam, nyawa manusia sangat berharga dan patut dijaga keselamatannya.
5. Pemeliharaan atas harta
Syariat Islam telah menetapkan sanksi atas kasus pencurian dengan potong tangan bagi pelakunya. Hal ini merupakan sanksi yang sangat keras untuk mencegah segala godaan untuk melakukan pelanggaran terhadap harta orang lain.
Syariat Islam telah menetapkan sanksi atas kasus pencurian dengan potong tangan bagi pelakunya. Hal ini merupakan sanksi yang sangat keras untuk mencegah segala godaan untuk melakukan pelanggaran terhadap harta orang lain.
6. Pemeliharaan atas agama
Hukum Islam memberikan kebebasan bagi setiap manusia untuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya. Islam tidak pernah memaksakan seseorang untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Islam mempunyai sanksi bagi setiap muslim yang murtad agar manusia lain tidak mempermainkan agamanya.
Hukum Islam memberikan kebebasan bagi setiap manusia untuk menjalankan ibadah sesuai kepercayaannya. Islam tidak pernah memaksakan seseorang untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Islam mempunyai sanksi bagi setiap muslim yang murtad agar manusia lain tidak mempermainkan agamanya.
Untuk melengkapi postingan tentang pengertian hukum Islam, sumber dan tujuan, syariat Islam mulai berlaku untuk orang dewasa (mukallaf) atau orang yang sudah baligh, yakni sudah cukup umur, berakal sehat dan sudah menerima seruan agama sejak usia 9 tahun, bagi pria dan wanita bila sudah bermimpi basah (tanda dewasa).
HUKUM HUKUM DALAM ISLAM
1. HUKUM PERJINAHAN
DALAM AGAMA ISLAM
Saat ini
kita hidup dalam zaman eraglobalisasi yang amat sangat terbuka terjadi hampir
di seluruh dunia serta tekhnologi semakin canggih. Tetapi kebanyakan orang
menggunakan tekhnologi yang semakin canggih ini di gunakan untuk hal-hal yang
tidak sadar akan adanya orang atau pihak lain yang dirugikan bahkan sangat
berpengaruh bagi anak masa depan atau generasi penerus bangsa di masa yang akan
datang, seperti sekarang adanya internet yang sangat mudah untuk di akses oleh
semua orng bahkan anak-anak kecil sudah mengenal apa itu internet. Oleh karena
itu pengawasan orang tua sangat di perlukan untuk membimbing anaknya supaya
tidak terjerumus ke jalan yang salah atau pergaulan yang tidak di sukai oleh
masyarakat yang semakin terbuka dan setiap orng mudah untuk bergabung atu
menirunya. Bahkan karena terlalu terbukanya pergaulan dalam masyarakat,
nilai-nilai agama pun mulai ditinggalkan. Lihat saja sekarang, dengan mudah
kita dapat menemukan berbagai kemaksiatan di sekitar kita. Bahkan hal-hal yang
menjurus pada perbuatan zina terpampang di sekitar kita.
Anak-anak muda zaman sekarang seakan-akan berlomba dalam hal
ini. Begitu banyak gadis-gadis yang mempertontonkan kemolekan tubuhnya secara
bebas, hubungan dengan lawan jenis yang melewati batas, dan banyak lagi hal-hal
yang membuat perzinahan seakan-akan menjadi sesuatu yang wajar-wajar saja.
Ditambah lagi dengan lemahnya iman dan ilmu agama yang dimiliki, membuat
perzinahan semakin merajalela.
Padahal, jelas-jelas islam telah melarang kita untuk
melakukan perbuatan zina. Jangankan melakukannya, mendekati saja kita sudah
tidak boleh. Tentunya perintah untuk tidak mendekati dan melakukan perbuatan
zina bukanlah tanpa sebab. Perbuatan zina merupakan sebuah perbuatan yang keji,
yang dapat mendatangkan kemudharatan bukan hanya kepada pelakunya, namun juga
kepada orang lain.
Zina merupakan perbuatan amoral, munkar dan berakibat sangat
buruk bagi pelaku dan masyarakat, sehingga Allah mengingatkan agar hambanya
terhindar dari perzinahan :
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. QS. 17:32
Allah juga memberikan jalan untuk menghindari perzinahan
yaitu dengan berpuasa, menjaga pandangan dan memakai Jilbab bagi perempuan, dan
Allah juga memberikan ancaman yang luar biasa bagi pelaku zina agar hambanya
takut untuk melakukan zina :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. QS. 24:2
Maka ketika hukum Islam dijalankan, hasilnya sangat
fantastis, perbuatan zina dan amoral betul-betul sangat minim dan masyarakatnya
menjadi masyarakat yang baik. Amatilah dengan teliti dan obyektif sejak
pemerintahan Rasulullah SAW hingga saat ini, ketika diterapkan hukum Islam
secara utuh, maka terciptalah masyarakat yang baik.
Tetapi bila kita menengok hukum zina dalam Alkitab, yang
tampak adalah adanya kontradiksi antara keras hukumannya dan tidak dihukum.
Zina Dalam Pandangan
Islam
Di dalam Islam, zina termasuk perbuatan dosa besar. Hal ini
dapat dapat dilihat dari urutan penyebutannya setelah dosa musyrik dan membunuh
tanpa alasan yang haq, Allah berfirman: “Dan orang-orang yang tidak menyembah
tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina.” (QS. Al-Furqaan: 68).
Imam Al-Qurthubi mengomentari, “Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang
lebih besar setelah kufur selain membunuh tanpa alasan yang dibenarkan dan
zina.” (lihat Ahkaamul Quran, 3/200). Dan menurut Imam Ahmad, perbuatan dosa
besar setelah membunuh adalah zina.
Islam melarang dengan tegas perbuatan zina karena perbuatan
tersebut adalah kotor dan keji. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati
perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan
yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32). Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di,
seorang ulama besar Arab Saudi, berkomentar: “Allah Swt telah mengategorikan
zina sebagai perbuatan keji dan kotor. Artinya, zina dianggap keji menurut syara’,
akal dan fitrah karena merupakan pelanggaran terhadap hak Allah, hak istri, hak
keluarganya atau suaminya, merusak kesucian pernikahan, mengacaukan garis
keturunan, dan melanggar tatanan lainnya”. (lihat tafsir Kalaam Al-Mannan:
4/275)
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, “Firman Allah Swt yang
berbunyi: “Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang
tampak ataupun yang tersembunyi” (QS.Al-Maidah: 33), menjadi dalil bahwa inti
dari perbuatan zina adalah keji dan tidak bisa diterima akal. Dan, hukuman zina
dikaitkan dengan sifat kekejiaannya itu”. Kemudian ia menambahkan, “Oleh karena
itu, Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina.
Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.
(QS. Al-Isra’: 32) (lihat At-Tafsir Al-Qayyim, hal 239)
Oleh karena itu, Islam telah menetapkan hukuman yang tegas
bagi pelaku zina dengan hukuman cambuk seratus kali bagi yang belum nikah dan
hukuman rajam sampai mati bagi orang yang menikah. Di samping hukuman fisik tersebut,
hukuman moral atau sosial juga diberikan bagi mereka yaitu berupa diumumkannya
aibnya, diasingkan (taghrib), tidak boleh dinikahi dan ditolak persaksiannya.
Hukuman ini sebenarnya lebih bersifat preventif (pencegahan) dan pelajaran
berharga bagi orang lain. Hal ini mengingat dampak zina yang sangat berbahaya
bagi kehidupan manusia, baik dalam konteks tatanan kehidupan individu, keluarga
(nasab) maupun masyarakat.
Hukuman zina tidak hanya menimpa pelakunya saja, tetapi juga
berimbas kepada masyarakat sekitarnya, karena murka Allah akan turun kepada
kaum atau masyarakat yang membiarkan perzinaan hingga mereka semua binasa,
berdasarkan sabda Rasulullah saw: “Jika zina dan riba telah merebak di suatu
kaum, maka sungguh mereka telah membiarkan diri mereka ditimpa azab Allah.”
(HR. Al-Hakim). Di dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda: “Ummatku
senantiasa ada dalam kebaikan selama tidak terdapat anak zina, namun jika
terdapat anak zina, maka Allah Swt akan menimpakan azab kepada mereka.” (H.R
Ahmad).
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa zina adalah salah satu
penyebab kematian massal dan penyakit tha’un. Tatkala perzinaan dan kemungkaran
merebak dikalangan pengikut Nabi Musa as, Allah Swt menurunkan wabah tha’un
sehingga setiap hari 71.000 orang mati (lihat Ath-Thuruq Al-Hukmiyah fii
As-Siyaasah Asy-Syar’iyyah, hal 281). Kemungkinan besar, penyakit berbahaya
yang dewasa ini disebut dengan HIV/AIDS (Human Immunodefienscy Virus/Acquire
Immune Defisiency Syindrome) adalah penyakit tha’un (penyakit mematikan yang tidak
ada obatnya di zaman dulu) yang menimpa ummat terdahulu itu. Na’uu zubilahi min
zalik..semoga kita tidak ditimpakan musibah ini.
Melihat dampak negatif (mudharat) yang ditimbulkan oleh zina
sangat besar, maka Islampun mengharamkan hal-hal yang dapat menjerumuskan
kedalam maksiat zina seperti khalwat, pacaran, pergaulan bebas, menonton
VCD/DVD porno dan sebagainya, berdasarkan dalil sadduz zari’ah. Hal ini perkuat
lagi dengan kaidah Fiqh yang masyhur: “Al wasilatu kal ghayah” (sarana itu
hukumnya sama seperti tujuan) dan kaidah: “Maa la yatimmul waajib illa bihi
fahuwa waajib” (Apa yang menyebabkan tak sempurnanya kewajiban kecuali
dengannya maka ia menjadi wajib pula).
Dan berdasarkan makna tersurat dalam firman Allah: “Dan
janganlah kamu mendekati perbuatan zina. Sesungguhnya zina itu suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’: 32). Maka secara mafhum
muwafaqah, maknanya adalah mendekati zina saja hukumnya dilarang (haram),
terlebih lagi sampai melakukan perbuatan zina, maka ini hukumnya jelas lebih
haram.
Inilah rahasia kesempurnaan agama Islam dan misinya yang
menjadi rahmatan lil ‘aalamiin (rahmat bagi segenap penghuni dunia). Islam
sangat memperhatikan kemaslahatan ummat manusia, baik dalam skala individu,
sosial (masyarakat), maupun Negara. Selain itu, Islam juga menolak dan melarang
segala kemudharatan (bahaya) yang dapat menimpa pribadi, masyarakat dan Negara.
Prinsip ini dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal dengan maqashid syar’i (maksud dan
tujuan syariat). Dalam prinsip maqashid syari’, ada 5 hal pokok dalam kehidupan
manusia (adh-dharuriyatul al-khamsah) yang wajib dijaga dan pelihara yaitu:
hifzu ad-diin (menjaga agama), hifzu an-nafs (menjaga jiwa), hifzu al-aql
(menjaga akal), hifzu maal (menjaga harta) dan hifzu an-nasl (menjaga
keturunan). Untuk memelihara lima pokok inilah syariat Islam diturunkan. Oleh
sebab itu, menjadi kewajiban kita sebagai seorang muslim untuk menjaga
adh-dharuriyaat al-khamsah ini berdasarkan nash-nash Al-Quran dan hadits,
dengan mentaati setiap perintah dan larangan di dalam nash-nash tersebut.
Solusi permasalahan
moral ini
Islam adalah agama fitrah yang mengakui keberadaan naluri
seksual. Di dalam Islam, pernikahan merupakan bentuk penyaluran naluri seks
yang dapat membentengi seorang muslim dari jurang kenistaan. Maka, dalam
masalah ini nikah adalah solusi jitu yang ditawarkan oleh Rasulullah saw sejak
14 abad yang lampau bagi gadis/perjaka.
Selain itu, penerapan syariat Islam merupakan solusi
terhadap berbagai problematika moral ini dan penyakit sosial lainnya. Karena
seandainya syariat ini diterapkan secara kaffah (menyeluruh dalam segala aspek
kehidupan manusia) dan sungguh-sungguh, maka sudah dapat dipastikan tingkat
maksiat khalwat, zina, pemerkosaan dan kriminal lainnya akan berkurang drastic.
Orang tua pun sangat berperan dalam pembentukan moral
anaknya dengan memberi pemahaman dan pendidikan islami terhadap mereka. Orang
tua hendaknya menutup peluang dan ruang gerak untuk maksiat ini dengan menyuruh
anak gadisnya untuk berpakaian syar’i (tidak ketat, tipis, nampak aurat dan
menyerupai lawan jenis). Memberi pemahaman akan bahaya pacaran dan pergaulan
bebas. Dalam konteks kehidupan masyarakat, tokoh masyarakat dapat memberikan
sanksi tegas terhadap pelaku zina sebagai preventif (pencegahan). Jangan
terlalu cepat menempuh jalur damai “nikah”, sebelum ada sanksi secara adat,
seperti menggiring pelaku zina ke seluruh kampung untuk dipertontonkan dan
sebagainya. Selain itu, majelis ta’lim dan ceramah pula sangat berperan dalam
mendidik moral masyarakat dan membimbing mereka.
Begitu pula sekolah, dayah dan kampus sebagai tempat
pendidikan secara formal dan informal mempunyai peran dalam pembentukan moral
pelajar/mahasiwa. Dengan diajarkan mata pelajaran Tauhid, Al-Quran, Hadits dan
Akhlak secara komprehensif dan berkesinambungan, maka para pelajar/mahasiswa
diharapkan tidak hanya menjadi seorang muslim yang cerdas intelektualnya, namun
juga cerdas moralnya (akhlaknya).
Peran Pemerintah dalam amal ma’ruf nahi munkar mesti
dilakukan. Pemerintah diharapkan mengawasi dan menertibkan warnet-warnet,
salon-salon, kafe-kafe dan pasangan non-muhrim yang berboncengan. Karena, bisa
memberi celah dan ruang untuk maksiat ini. Mesti ada tindak pemblokiran
situs-situs porno sebagaimana yang diterapkan di Negara Islam lainnya seperti
Arab Saudi, Iran, Malaysia dan sebagainya.
Pemerintah Aceh hendaknya bersungguh menegakkan syariat
Islam di Bumi Serambi Mekkah ini, dengan membuat Qanun-Qanun yang islami,
khususnya Qanun Jinayat (hukum pidana) dengan sanksi yang tegas, demi terciptanya
keamanan, kenyamanan dan ketentraman di Aceh. Di samping itu, konsep pendidikan
Islami mesti segera dirumuskan dan diterapkan di Aceh. Sebagai solusi atas
kegagalan dan kelemahan sistim pendidikan selama ini yang tidak mendidik moral
generasi bangsa. Tidak ada pilihan lain, pendidikan Islami sudah menjadi
pilihan dan priotitas di Aceh seperti yang diamanatkan dalam renstra Qanun
pendidikan untuk segera diterapkan dan juga merupakan solusi terhadap
permasalahan moral generasi bangsa.
Berikut ini adalah beberapa akibat buruk dan bahaya zina:
• Dalam zina
terkumpul bermacam-macam dosa dan keburukan, yakni berkurangnya agama si
pezina, hilangnya sikap menjaga diri dari dosa, buruk keperibadian, dan
hilangnya rasa cemburu.
• Zina membunuh rasa
malu, padahal dalam Islam malu merupakan suatu hal yang sangat diperdulikan dan
perhiasan yang sangat indah dimiliki perempuan.
• Menjadikan wajah
pelakunya muram dan gelap.
• Membuat hati
menjadi gelap dan mematikan sinarnya.
• Menjadikan
pelakunya selalu dalam kemiskinan atau merasa demikian sehingga tidak pernah
merasa cukup dengan apa yang diterimanya.
• Akan
menghilangkan kehormatan pelakunya dan jatuh martabatnya baik di hadapan Allah
maupun sesama manusia.
• Tumbuhnya sifat
liar di hati pezina, sehingga pandangan matanya liar dan tidak terarah.
• Pezina akan
dipandang oleh manusia dengan pandangan muak dan tidak dipercaya.
• Zina mengeluarkan
bau busuk yang mampu dideteksi oleh orang-orang yang memiliki hati yang bersih
melalui mulut atau badannya.
• Kesempitan hati
dan dada selalu dirasakan para pezina. Apa yang dia dapatkan dalam kehidupan
adalah kebalikan dari apa yang diinginkannya. Dikarenakan orang yang mencari
kenikmatan hidup dengan cara yang melanggar perintah Allah, maka Allah akan
memberikan yang sebaliknya dari apa yang dia inginkan, dan Allah tidak
menjadikan larangannya sebagai jalan untuk mendapatkan kebaikan dan
kebahagiaan.
• Pezina telah
mengharamkan dirinya untuk mendapat bidadari di dunia maupun di akhirat.
• Perzinaan
menjadikan terputusnya hubungan persaudaraan, durhaka kepada orang tua,
pekerjaan haram, berbuat zalim, serta menyia-nyiakan keluarga dan keturunan.
Bahkan dapat terciptanya pertumpahan darah dan sihir serta dosa-dosa besar yang
lain. Zina biasanya berkait dengan dosa dan maksiat yang lain, sehingga
pelakunya akan melakukan dosa-dosa yang lainnya.
• Zina
menghilangkan harga diri pelakunya dan merusak masa depannya, sehingga
membebani kehinaan yang berkepanjangan kepada pezina dan kepada seluruh
keluarganya.
• Kehinaan yang
melekat kepada pelaku zina lebih membekas dan mendalam daripada kekafiran.
Kafir yang memeluk Islam, maka selesai persoalannya, namun dosa zina akan
benar-benar membekas dalam jiwa. Walaupun pelaku zina telah bertaubat dan
membersihkan diri, pezina masih merasa berbeda dengan orang yang tidak pernah
melakukannya.
• Jika wanita hamil
dari hasil perzinaan, maka untuk menutupi aibnya ia mengugurkan kandungannya.
Selain telah berzina, pezina juga telah membunuh jiwa yang tidak berdosa. Jika
pezina adalah seorang perempuan yang telah bersuami dan melakukan
perselingkuhan sehingga hamil dan membiarkan anak itu lahir, maka pezina telah
memasukkan orang asing dalam keluarganya dan keluarga suaminya sehingga anak
itu mendapat hak warisan mereka tanpa disadari siapa dia sebenarnya.
• Perzinaan akan
melahirkan generasi yang tidak memiliki silsilah kekeluargaan menurut hubungan
darah (nasab). Di mata masyarakat mereka tidak memiliki status sosial yang jelas.
• Pezina laki-laki
bermakna bahwa telah menodai kesucian dan kehormatan wanita.
• Zina dapat
menimbulkan permusuhan dan menyalakan api dendam pada keluarga wanita dengan
lelaki yang telah berzina dengan wanita dari keluarga tersebut.
• Perzinaan sangat
mempengaruhi jiwa keluarga pezina, mereka akan merasa jatuh martabat di mata
masyarakat, sehingga mereka tidak berani untuk mengangkat wajah di hadapan
orang lain.
• Perzinaan
menyebabkan menularnya penyakit-penyakit berbahaya seperti AIDS, sifilis,
kencing nanah, dan penyakit-penyakit lainnya yang ditularkan melalui hubungan
seksual.
• Perzinaan adalah
penyebab bencana kepada manusia, mereka semua akan dimusnahkan oleh Allah
akibat dosa zina yang menjadi tradisi dan dilakukan secara terang-terangan.
Zina menurut pandangan agama
Islam
Di dalam Islam, pelaku perzinaan dibedakan menjadi dua,
yaitu pezina muhshan dan ghayru muhshan. Pezina muhshan adalah pezina yang
sudah memiliki pasangan sah (menikah), sedangkan pezina ghayru muhshan adalah pelaku
yang belum pernah menikah dan tidak memiliki pasangan sah.
Berdasarkan hukum Islam, perzinaan termasuk salah satu dosa
besar. Dalam agama Islam, aktivitas-aktivitas seksual oleh lelaki/perempuan
yang telah menikah dengan lelaki/perempuan yang bukan suami/istri sahnya,
termasuk perzinaan. Dalam Al-Quran, dikatakan bahwa semua orang Muslim percaya
bahwa berzina adalah dosa besar dan dilarang oleh Allah.
Tentang perzinaan di dalam Al-Quran disebutkan di dalam
ayat-ayat berikut; Al Israa' 17:32, Al A'raaf 7:33, An Nuur 24:26. Dalam hukum
Islam, zina akan dikenakan hukum rajam.
Hukumnya menurut agama Islam untuk para pezina adalah
sebagai berikut:
• Jika pelakunya
sudah menikah melakukannya secara sukarela (tidak dipaksa, tidak diperkosa),
mereka dicambuk 100 kali, kemudian dirajam, ini berdasarkan hukuman yang
diterapkan Ali bin Abi Thalib. Mereka cukup dirajam tanpa didera dan ini lebih
baik, sebagaimana hukum yang diterapkan oleh Muhammad, Abu Bakar ash-Shiddiq,
dan Umar bin Khatthab.
Jika pelakunya belum menikah, maka mereka didera (dicambuk)
100 kali. Kemudian diasingkan selama setahun.
Banyak sekali dalil-dalil baik dari Al Quran maupun hadist
yang melarang perbuatan zina ini. Dalil-dalil yang berisi larangan untuk
melakukan perbuatan zina diantaranya adalah:
1. Dalil Dari Al Quran:
a. Firman allah dalam al-qur'an surat An-Nuur: 2-3
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا
مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا
رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ
إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا
طَائِفَةٌ
مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
الزَّانِي
لَا يَنكِحُ إلَّا زَانِيَةً
أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا
زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ
ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah,
jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. Laki-laki
yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan
yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan
atas oran-orang yang mukmin,” (an-Nuur: 2-3).
b. Firman allah dalam al-qur'an surat
Al-Israa’: 32
وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَسَاء سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan
suatu jalan yang buruk,” (al-Israa’: 32)
c. Firman allah dalam al-qur'an surat
Al-Furqaan: 68-69
وَالَّذِينَ
لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهاً
آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ
الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا
بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَن
يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَاماً
يُضَاعَفْ
لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ
فِيهِ مُهَاناً
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali
dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang
demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat
gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu,
dalam keadaan terhina,” (al-Furqaan: 68-69).
d. Firman allah dalam al-qur'an surat
Al-Mumtahanah: 12.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءكَ الْمُؤْمِنَاتُ
يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَن لَّا
يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئاً وَلَا يَسْرِقْنَ
وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ
وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ
يَفْتَرِينَهُ
بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي
مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Hai Nabi, apabila
datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia,
bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan
berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam
urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan
kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah maha Pengampun lagi Maha
Penyayang,” (al-Mumtahanah: 12).
Dalil dari Hadist
Rasulullah saw:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah
saw. bersabda, “Tiga jenis orang yang Allah tidak mengajak berbicara pada hari
kiamat, tidak mensucikan mereka, tidak melihat kepada mereka, dan bagi mereka
adzab yang pedih: Orang yang berzina, penguasa yang pendusta, dan orang miskin
yang sombong,” (HR Muslim [107]).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Rauslullah
saw. bersabda, “Tidaklah berzina seorang pezina saat berzina sedang ia dalam
keadaan mukmin,”
Masih diriwayatkan darinya dari Nabi saw. beliau bersabda,
“Jika seorang hamba berzina maka keluarlah darinya keimanan dan jadilah ia
seperti awan mendung. Jika ia meninggalkan zina maka kembalilah keimanan itu
kepadanya,” (Shahih, HR Abu Dawud [4690]).
Diriwayatkan dari al-Miqdad bin al-Aswad r.a, ia berkata,
Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Bagaimana pandangan kalian
tentang zina?” Mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkannya maka
ia haram sampai hari kiamat.” Beliau bersabda, “Sekiranya seorang laki-laki
berzina dengan sepuluh orang wanita itu lebih ringan daripada ia berzina dengan
isteri tetangganya,” (Shahih, HR Bukhari dalam Adabul Mufrad [103]).
Kandungan Dalil
tentang Zina
Dari dalil-dalil tersebut, kita dapat mengambil beberapa
kesimpulan tentang larangan zina dalam islam. Ksimpulan yang dapat kita ambil
diantaranya adalah:
1. Kerasnya
pengharaman zina. Zina adalah seburuk-buruk jalan dan sejelek-jelek perbuatan.
Terkumpul padanya seluruh bentuk kejelekan yakni kurangnya agama, tidak adanya
wara’, rusaknya muru’ah (kehormatan) dan tipisnya rasa cemburu. Hingga engkau
tidak akan menjumpai seorang pezina itu memiliki sifat wara’, menepati
perjanjian, benar dalam ucapan, menjaga persahabatan, dan memiliki kecemburuan
yang sempurna kepada keluarganya. Yang ada tipu daya, kedustaan, khianat, tidak
memiliki rasa malu, tidak muraqabah, tidak menjauhi perkara haram, dan telah
hilang kecemburuan dalam hatinya dari cabang-cabang dan perkara-perkara yang memperbaikinya.
(lihat Raudhatul Muhibbin [360]).
2. Ancaman yang
keras terhadap pelaku zina.Dan hukuman bagi pezina dikhususkan dengan beberapa perkara:
a. Kerasnya hukuman
b. Diumumkannya
hukuman
c. Larangan menaruh
rasa kasihan kepada pezina
3. Hukuman bagi
pezina yang belum menikah adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan selama
satu tahun. Dan hukuman bagi pelaku zina yang telah menikah adalah dirajam
sampai mati. Rasulullah saw. telah merajam sebanyak enam orang di antaranya
adalah Mu’iz, wanita al-Ghamidiyah dan lain-lain.
4. Adapun berzina
dengan wanita yang masih mahram mewajibkan hukuman yang sangat keras, yakni
dibunuh.
Ibnul Qayyim berkata dalam Raudhatul Muhibbin (374), “Adapun
jika perbuatan keji itu dilakukan dengan orang yang masih memiliki hubungan
kekeluargaan dari para mahramnya, itu adalah perbuatan yang membinasakan. Dan
wajib dibunuh pelakunya bagaimanapun keadaannya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad
dan yang lainnya.”
5. Zina ada
beberapa cabang.
Seperti zina mata,
zina lisan, dan zina anggota badan. Disebutkan dalam hadits Abu Hurairah r.a,
Rasulullah saw. bersabda, “Allah telah menetapkan atas setiap Bani Adam
bagiannya dari zina yang tidak bisa tidak pasti ia mendapatinya. Zina mata
adalah melihat, zina lisan adalah berbicara, hati berangan-angan serta bernafsu
dan kemaluan membenarkan atau mendustakannya.”
HUKUMAN PEZINAH
Pelaku zina ada yang berstatus telah menikah (al-Muhshân)
dan ada pula yang belum menikah (al-Bikr). Keduanya memiliki hukuman berbeda.
Hukuman pezina diawal Islam berupa kurungan bagi yang telah
menikah dan ucapan kasar dan penghinaan kepada pezina yang belum menikah
(al-Bikr). Allah Azza wa Jalla berfirman : " Dan (terhadap) para wanita
yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu
(yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan terhadap dua orang
yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada
keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka
biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang". [an-Nisâ`/ 4:15-16]
Kemudian sanksi itu diganti dengan rajam (dilempar batu)
bagi yang telah menikah (al-Muhshân) dan dicambuk seratus kali bagi yang belum
menikah (al-Bikr) dan ditambah pengasingan setahun.
a. Pezina al-Muhshân
Pezina yang pernah menikah (al-Muhshân) dihukum rajam
(dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an, hadits
mutawatir dan ijma’ kaum muslimin[7]. Ayat yang menjelaskan tentang hukuman
rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya masih tetap
diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anh menjelaskan dalam khuthbahnya
:
إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ عَلَى
نَبِيِّهِ الْقُرْآنَ وَكَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ
عَلَيْهِ آيَةُ الرَّجْمِ فَقَرَأْنَاهَا
وَوَعَيْنَاهَا وَعَقَلْنَاهَا وَرَجَمَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم وَرَجَمْنَا بَعْدَهُ
وَ أَخْشَى إِنْ طَالَ
بِالنَّاسِ زَمَانٌ أَنْ يَقُوْلُوْا
: لاَ نَجِدُ الرَّجْمَ فِيْ
كِتَابِ الله فَيَضِلُّوْا بِتَرْكِ
فَرِيْضَةٍ أَنْزَلَهَا اللهُ وَ ِإِنَّ
الرَّجْمَ حَقٌّ ثَابِتٌ فِيْ
كِتَابِ اللهِ عَلَى مَنْ
زَنَا إِذَا أَحْصَنَ إِذَا
قَامَتِ الْبَيِّنَةُ أَوْ كَانَ الْحَبَل
أَوْ الإِعْتِرَاف.
"Sesungguhnya Allah telah menurunkan al-Qur`an kepada
NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat Rajam. Kami
telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah melaksanakannya
setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu lama, akan ada
orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman rajam dalam kitab
Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang Allah Azza
wa Jalla telah turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan ada dalam
kitab Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshân),
bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau pengakuan
sendiri".
Ini adalah persaksian khalifah Umar bin al-Khatthâb
Radhiyallahu 'anhu diatas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
dihadiri para sahabat sementara itu tidak ada seorangpun yang mengingkarinya
[9]. Sedangkan lafadz ayat rajam tersebut diriwayatkan dalam Sunan Ibnu Mâjah
berbunyi :
وَالشَّيْخُ
وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوْهُمَا
الْبَتَهْ نَكَلاً مِنَ اللهِ
وَ اللهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Syaikh lelaki dan perempuan apabila keduanya berzina maka
rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Allah maha
perkasa lagi maha bijaksana.
Sedangkan dasar hukuman rajam yang berasal dari sunnah, maka
ada riwayat mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam baik
perkataan maupun perbuatan yang menerangkan bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah merajam pezina yang al-Muhshân (ats-Tsaib al-Zâni)
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Para ulama telah
berijma’ (sepakat) bahwa orang yang dihukum rajam, terus menerus dilempari batu
sampai mati.
Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Kewajiban merajam
pezina al-muhshân baik lelaki atau perempuan adalah pendapat seluruh para ulama
dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelah mereka diseluruh negeri
islam dan kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat diantara para
ulama) kecuali kaum Khawariji.
Meski demikian, hukuman rajam ini masih saja diingkari oleh
orang-orang Khawarij dan sebagian cendikiawan modern padahal mereka tidak
memiliki hujjah dan hanya mengikuti hawa nafsu serta nekat menyelisihi
dalil-dalil syar’i dan ijma’ kaum muslimin. Wallahul musta’an.
Hukuman rajam khusus diperuntukkan bagi pezina al-muhshân
(yang sudah menikah dengan sah-red) karena ia telah menikah dan tahu cara
menjaga kehormatannya dari kemaluan yang haram dan dia tidak butuh dengan
kemaluan yang diharamkan itu. Juga ia sendiri dapat melindungi dirinya dari
ancaman hukuman zina. Dengan demikian, udzurnya (alasan yang sesuai syara’)
terbantahkan dari semua sisi . dan dia telah mendapatkan kenikmatan sempurna.
Orang yang telah mendapatkan kenikmatan sempuna (lalu masih berbuat kriminal)
maka kejahatannya (jinayahnya) lebih keji, sehingga ia berhak mendapatkan
tambahan siksaan.
Syarat al-Muhshân.
Rajam tidak diwajibkan kecuali atas orang yang dihukumi
al-Muhshân. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang dihukumi
sebagai al-Muhshaan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Pernah melakukan jima’ (hubungan seksual) langsung di
kemaluan. Dengan demikian, orang yang telah melakukan aqad pernikahan namun
belum melakukan jima’ , belum dianggap sebagai al-Muhshân.
2. Hubungan seksual (jima’) tersebut dilakukan berdasarkan
pernikahan sah atau kepemilikan budak bukan hubungan diluar nikah
3. Pernikahannya tersebut adalah pernikahan yang sah.
4. Pelaku zina adalah orang yang baligh dan berakal.
5. Pelaku zina merdeka bukan budak belian.
Dengan demikian seorang dikatakan al-Muhshân, apabila
kriteria diatas sudah terpenuhi.
b. Pezina Yang Tidak
al-Muhshân
Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi kriteria
al-muhshân, maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini adalah
kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera
(cambuk)". [An-Nûr/24:2]
Al-Wazîr rahimahullah menyatakan : “Para ulama sepakat bahwa
pasangan yang belum al-muhshân dan merdeka (bukan budak-red), apabila mereka
berzina maka keduanya dicambuk (dera), masing-masing seratus kali.
Hukuman mati (dengan dirajam-red) diringankan buat mereka
menjadi hukuman cambuk karena ada udzur (alasan syar’i-red) sehingga darahnya
masih dijaga. Mereka dibuat jera dengan disakiti seluruh tubuhnya dengan
cambukan. Kemudian ditambah dengan diasingkan selama setahun menurut pendapat
yang rajah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :
خُذُوْا
عَنِّيْ ، خُذُوْا عَنِّيْ
، قَدْ جَعَلَ
اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيْلاً ،
الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جِلْدُ مِائَةٍ وَتَغْرِيْبُ
عَامٍ .
"Ambillah dariku! ambillah dariku! Sungguh Allah telah
menjadikan bagi mereka jalan, yang belum al-muhshaan dikenakan seratus dera dan
diasingkan setahun." [HR Muslim].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan :
“Apabila tidak muhshân , maka dicambuk seratus kali, berdasarkan al-Qur`an dan
diasingkan setahun dengan dasar sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
KEKHUSUSAN HUKUMAN
PEZINAH
.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan tiga karakteristik
khusus bagi hukuman zina :
1. Hukuman yang keras, yaitu rajam untuk al-Muhshân dan itu
adalah hukuman mati yang paling mengenaskan dan sakitnya menyeluruh keseluruh
badan. Juga cambukan bagi yang belum al-muhshân merupakan siksaan terhadap
seluruh badan ditambah dengan pengasingan yang merupakan siksaan batin.
2. Manusia dilarang merasa tidak tega dan kasihan terhadap
pezina
3. Allah memerintahkan pelaksanaan hukuman ini dihadiri
sekelompok kaum mukminin. Ini demi kemaslahatan hukuman dan lebih membuat jera.
Hal ini disampaikan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam
firmanNya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman"
[an-Nûr/24:2]
SYARAT PENERAPAN
HUKUMAN ZINAH.
Dalam penerapan hukuman zina diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Pelakunya adalah seorang mukallaf yaitu sudah baligh dan
berakal (tidak gila).
2. Pelakunya berbuat tanpa ada paksaan.
3. Pelakunya mengetahui bahwa zina itu haram, walaupun belum
tahu hukumannya.
4. Jima’ (hubungan seksual) terjadi pada kemaluan.
5. Tidak adanya syubhat. Hukuman zina tidak wajib dilakukan
apabila masih ada syubhat seperti menzinahi wanita yang ia sangka istrinya atau
melakukan hubungan seksual karena pernikahan batil yang dianggap sah atau
diperkosa dan sebagainya.
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan :
“Semua para ulama yang saya hafal ilmu dari mereka telah
berijma’ (bersepakat) bahwa had (hukuman) dihilangkan dengan sebab adanya
syubhat.”
6. Zina itu benar-benar terbukti dia lakukan. Pembuktian ini
dengan dua perkara yang sudah disepakati para ulama yaitu:
1. Pengakuan dari pelaku zina yang mukallaf dengan jelas dan
tidak mencabut pengakuannya sampai
hukuman tersebut akan dilaksanakan.
2. Persaksian empat saksi yang melihat langsung kejadian,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan
empat orang saksi atas berita bohong itu." [an-Nûr/24:13]
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang
baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang
saksi.…." [An-Nûr/24:4]
Persaksian yang diberikan oleh para saksi ini akan diakui
keabsahannya, apabila telah terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Mereka bersaksi pada satu majlis
b. Mereka bersaksi untuk satu kejadian perzinahan saja
c. Menceritakan perzinahan itu dengan jelas dan tegas yang
dapat menghilangkan kemungkinan lain atau menimbulkan penafsiran lain seperti
hanya melakukan hal-hal diluar jima’.
d. Para saksi adalah lelaki yang adil
e. Tidak ada yang menghalangi penglihatan mereka seperti
buta atau lainnya.
Apabila syarat-syarat ini tidak sempurna, maka para saksi
dihukum dengan hukuman penuduh zina. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka
(yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima
keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang
fasik" [an-Nûr/24:4]
Penetapan terjadinya perbuatan zina dan pemutusan saksi
dengan berdasarkan persaksian dan pengakuan si pelaku yang disebutkan diatas,
telah disepakati oleh para ulama. Dan para ulama masih berselisih pendapat
tentang hamil diluar nikah. Bisakah hal ini dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan
bahwa telah terjadi perbuatan zina atau orang ini telah melakukan perbuatan
zina sehingga berhak mendapatkan sanksi ?
Para ulama berselisih menjadi dua pendapat :
Pertama : Pendapat jumhur yaitu madzhab Hanafiyah,
Syafi’iyah dan Hambaliyah (hanabilah) menyatakan bahwa hukuman pezina tidak
ditegakkan atau dilaksanakan kecuali dengan pengakuan dan persaksian saja.
Kedua : Pendapat madzhab Malikiyah menyatakan hukuman pezina
dapat ditegakkan dengan indikasi kehamilan.
Yang rajih dari dua pendapat diatas adalah pendapat madzhab
Malikiyah sebagaimana dirajihkan syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah.
Beliau rahimahulllah menyatakan bahwa seorang wanita dihukum dengan hukuman
zina apabila ketahuan hamil dalam keadaan tidak memiliki suami, tidak memiliki
tuan (jika ia seorang budak-red) serta tidak mengklain adanya syubhat dalam
kehamilannya.
Beliau rahimahullah pun menyatakan : “Inilah yang
diriwayatkan dari para khulafâ’ rasyidin dan ia lebih pas dengan pokok kaedah
syari’at.
Dalil beliau rahimahullah dan juga madzhab Malikiyah adalah
pernyataan Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anhu dalam khutbahnya :
وَ ِإِنَّ الرَّجْمَ حَقٌّ
ثَابِتٌ فِيْ كِتَابِ اللهِ
عَلَى مَنْ زَنَا إِذَا
أَحْصَنَ إِذَا قَامَتِ الْبَيِّنَةُ
أَوْ كَانَ الْحَبَل أَوْ
الإِعْتِرَاف.
"Sungguh rajam adalah benar dan ada dalam kitab Allah
atas orang yang berzina apabila telah pernah menikah (al-Muhshaan), bila tegak
padanya persaksian atau kehamilan atau pengakuan sendiri"
Jelaslah dari pernyataan Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu
'anhu diatas bahwa beliau menjadikan kehamilan sebagai indikasi perzinahan dan
tidak ada seorang sahabatpun waktu itu yang mengingkarinya.
al-Hâfidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari riwayat Umar
Radhiyallahu 'anhu diatas dengan menyatakan: (Dalam pernyataan Umar diatas) ada
pernyataan bahwa wanita apabila didapati dalam keadaan hamil tanpa suami dan
juga tidak memiliki tuan, maka wajib ditegakkan padanya hukuman zina kecuali
bila dipastikan adanya keterangan lain tentang kehamilannya atau akibat
diperkosa.
Kita sebagai umat
muslimin dan muslimat yang beragama Islam marilah kita selalu berlindung kepada
Allah SWT dan memohon pertolongan dan bimbingan-Nya agar dapat terhindar dari
semua perbuatan yang menjurus kepada kemaksiatan dan menuju ke jalan yang
diridhoi Allah SWT
2. HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
^�#nd�O����>
2. HUKUM PENCURIAN DALAM ISLAM
A. Pengertian
Menurut bahasa
pencurian adalah:
السرقة هي اخذ المال المتقو ملك
للغير فى حرز مثله
خفية
Artinya: Pencurian
adalah mengambil harta orang lain yang bernilai secara diam-diam dari tempatnya
yang tersimpan”.
Sedangkan
menurut syara’, pencurian adalah:
السرقة هي أخذ المكلف خفية قدر عشرة دراهم فضروبة محرزة أو
خافظ بلا شبهة
.
Artinya:
pencurian adalah mengambil harta orang lain yang oleh mukallaf secara
sembunyi-sembunyi dengan nisab 10 dirham yang dicetak, disimpan pada tempat
penyimpanan yang biasa digunakan atau dijaga oleh seorang penjaga dan tidak ada
syubhat.
Adapun maksud
dari pengertian tersebut adalah sebagai berikut;
1. Kalimat diambil
oleh orang mukallaf yaitu
orang dewasa yang waras, jika seandainya yang mengambil harta mencapai satu
nisab tapi dilakukan oleh anak dibawah umur atau orang gila, maka tidak berhak
diberikan hukuman potong tangan.
2. Secara sembunyi-sembunyi, sekalipun yang mengambil harta orang lain adalah orang dewasa
dan waras tapi dilakukan secara terang-terangan, maka tidak disebut dengan
pencurian.
3. Nisab (jumlah) 10 dirham yang dicetak.
Barangsiapa yang mencuri sebatang perak yang tidak dicetak menjadi uang yang
beratnya 10 dirham yang dicetak, maka ia tidak dianggap seorang pencuri menurut
syara’, karena tidak dikenakan potong tangan.
4. Disimpan di suatu tempat. Maksudnya, barang yang dicuri itu
diambil dari tempat yang disiapkan untuk menyimpan barang-barang tersebut yang
biasa disebut dengan hitzan. Seprti; rumah-rumah, flat-flat atau
hotel-hotel, laci-laci dan lain sebagainya yang biasa digunakan untuk menyimpan
barang berharga dengan aman.
5. Disimpan dengan penjagaan seorang penjaga. Maksudnya, barang yang diambil itu
dijaga oleh penjaga. Dalam hal ini barang tersebut diletakkan disuatu tempat
yang tidak biasanya disiapkan untuk penyimpanan barang, tetapi ditentukan penjaganya,
misalnya satpam dan sebagainya dengan maksud agar barang tersebut tidak dicuri
atau hilang. Sebagai contoh, orang-orang yang hendak membangun rumah atau
bangunan yang meletakkan besi-besi, semen, balok-balok dan sebagainya di
tempat-tempat umum dan menunjuk seseorang untuk menjaganya dari tangan-tangan
yang tidak bertanggung jawab. Jika seandainya seseorang mengambil sesuatu dari
barang-barang tersebut walaupun dalam kelalaian penjaganya dan barang yang
diambil itu mencapai satu nisab (10 dirham), maka ia dianggap pencuridan akan
dijatuhkan hukuman potong tangan.
6. Tidak ada syubhat. Maksudnya, tidak dipotong tangan orang
yang mengambil harta yang disimpan ditempat penyimpanannya, kecuali apabila
harta yang diambilnya itu luput dari syubhat. Misalnya, seorang suami mengambil
harta istrinya di tempat penyimpanannya maka suami tersebut tidak dihukum
potong tangan karena pencampuran keduanya dalammu’asyarah zaujiyyah merupakan suatu syubhat yang dapat
menggurkan hukuman. Sedangkan hukuman menjadi gugur karena adanya syubhat.
Demikian pula tidak dipotong tangannya orang yang mencuri harta kerabatnya. Dan
tidak dihukum potong tangan karena syubhat memungkinkan harta yang dicuri
adalah harta rampasan.
B. Hukuman Tindak Pidana
Pencurian Menurut Hadis
Para fuqaha
telah sepakan bahwa pencuria haram hukumnya, serta hukuman potong tangan pada
pelakunya adalah wajib dilaksanakan dan tidak boleh bagi hakim atau dengan
perantaan seseorang untuk menggugurkannya bila telah memenuhi syarat pencurian.
Pendapat mereka berdasarkan hadis Nabi saw;
عن عائشة : أن أسامة كلم النبي صلى
الله عليه و سلم في امرأة فقال: إنما هلك من كان قبلكم أنهم كانوا يقيمون الحد على
الوضيع ويتركون على الشريف والذي نفسي بيده لو فاطمة فعلت ذلك لقطعت يدها .
Artinya: Dari
Aisyah ra; sesungguhnya Usamah meminta pengampunan kepada Rasulullah saw.
tentang seseorang yang mencuri, lalu Rasulullah bersabda; bahwasanya binasa
orang-orang sebelum kamu disebabkan karena mereka melaksanakan hukuman hanya
kepada orang-orang yang hina dan mereka tidak melaksanakannya kepada
orang-orang bangsawan. Demi yang jiwaku dalam kekuasaanNya, jika seandainya
Fatimah yang melakukannya, pasti aku potong tangannya. (HR. Bukhari)
Dalam hadis yang
lain;
يا أيها الناس إنما ضل من كان
قبلكم أنهم كانوا إذا سرق الشريف تركوه وإذا سرق الضعيف فيهم أقاموا عليه الحد
وايم الله لو أن فاطمة بنت محمد سرقت لقطع محمد يدها .
Artinya; Wahai
sekalian manusia; bahwasanya menjadi sesat orang-orang sebelum kamu karena
apabila orang-orang bangsawan yang mencuri mereka tidak menghukumnya dan
apabila orang yang lemah yang mencuri mereka jatuhi hukuman padanya. Demi Allah
sekiranya Fathimah binti Muhammad yang mencuri pasti Muhammad memotong
tangannya. (HR. Bukhari).
Hadis tersebut
diatas berkenaan dengan kemarahan Rasulullah saw. karena didatangi oleh Usamah
yang memintakan ampunan terhadap seorang wanita yang mencuri yang telah
dijatuhi oleh Rasulullah saw. hukum potong tangan.
Dalam hadis itu
menunjukkan bahwa hukum potong tangan wajib dilakukan meskipun yang mencuri
adalah keluarga dekat. Sebagaiamana ditegaskan oleh Rasulullah saw. dengan
sabdanya beliau “sekiranya Fathimah binti Rasulullah yang mencuri pasti akan
dipotong tangannya”.
Dalam QS. Al-
Maidah ayat 38, Allah berfirman;
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء
بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ .
Artinya;
laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kedua
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaaan dari
allah dan allah maha
perkasa lagi maha bijaksa.(QS Al-Ma’idah[5]:38).
Hukum potong
tangan telah terjadi sejak zaman sebelum islam sebagaimana disebutkan oleh al-
Qurthubi; sungguh telah dihukum potong tangan dizaman jahiliyah ialah Al-
Walidah bin Al- Mughirah, kemudian Allah memerintahkan pula dimasa islam. Dalam
sejarah orang yang petama kali dihukum potong tangan dalam islam oleh
Rasulullah adalah Al- Khiyar bin Ady Naufal bin Abd. Manaf dan perempuan yang
bernama Murrah binti Sufyan bin Abd Al- Asad dari Bani Makhzum.[1]
C. Pelaksanaan Hukum Pencurian
Menurut hadis,
dalam pelaksanaan hukuman bagi tindak pencurian perlu diperhatikan hal-hal
berikut,
a. Pencurian
Pencurinya
adalah seorang mukallaf (dewasa dan waras). Fuqaha telah sepakat menetapkan
bahwa tangan pencuri tidak dipotong kecuali bila ia adalah orang dewasa dan
waras. Berdasarkan hadis Nabi saw. dari Ibn Abbas;
أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال " رفع القلم عن ثلاثة
عن المجنون المغلوب على عقله حتى يفيق وعن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم .
Artinya: sesungguhnya
Rasulallah saw. bersabda; dimaafkan kesalahan dari tiga orang; orang gila yang
hilang kesadarannya hingga ia sembuh, orang yang tidur hingga ia bangun, dan
anak di bawah umur (anak kecil) hingga ia dewasa. (HR. Abu Daud).
Dalam hadis tersebut
jelas disebutkan bahwa orang gila tidak dikenakan sanksi hukum hingga mereka
sembuh, orang tidur hingga ia bangun, anak-anak dibawah umur hingga mereka
dewasa. Ketiga golonga tersebut tidak dihisab karena melakukan perbuatan yang
menimbulkan dosa dan tidak dihukum karena melakukan tindak pidana, baik di
dunia maupun di akhirat.
b. Barang Curian
Diantara
syarat-syarat yang paling penting yang harus diperhatikan dari barang curian
adalah nisabnya. Jumhur ulama telah sepakat mengatakan bahwa barang curian yang
mengharuskan potong tangan itu harus mencapai satu nisab, namun mereka berbeda
pendapat mengenai berapa kadar nisab yang mengharuskan potong tangan itu.
Khulafau al- Rasyidin dan sebagian fuqaha tabi’in berpendapat bahwa nisab
barang curian yang mengharuskan potong tangan adalah tiga dirham dari uang
perak atau ¼ dinar dari uang emas dan pendapat inipulalah yang dipegangi oleh
Imam Asy- Syafi’i. berdasarkan hadis Nabi saw. dari Abdullah bin Umar;
قطع النبي صلى الله عليه و سلم يد السارق في مجن ثمنه ثلاثة دراهم .
Artinya: Nabi saw. memotong tangan
seorang pencuri .(HR. Muslim).
Dalam hadis yang lain, riwayat Aisyah
ra.;
عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لا تقطع يد السارق إلا في ربع دينار
فصاعدا .
Dari Nabi saw.
bersabda; jangan memotong tangan seorang pencuri kecuali mencapai ¼ dinar
keatas. (HR. Muslim).
Ulama Hanafiyah,
Mazhab Al- Itrah (mazhab ahlu al- Bait) dan seluruh fuqaha dan seluruh fuqaha
Iraq berpendapat bahwa nisab barang curian yang mengharuskan potong tangan
adalah sepuluh dirham.
عَنْ أَيْمَنَ قَالَ يُقْطَعُ السَّارِقُ فِي ثَمَنِ الْمِجَنِّ وَكَانَ
ثَمَنُ الْمِجَنِّ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دِينَارًا أَوْ عَشْرَةَ دَرَاهِمَ
Artinya: Dari
Aiman ia berkata: seorang pencuri dipotong tangannya (mencuri) seharga perisai
dan harga perisai pada masa Rasulullah saw. adalah satu dinar atau 10 dirham.
(HR. Al- Nasai).
Kedua macam
pendapat tersebut semuanya berdasarkan hadis Nabi saw. tentang harga perisai
yang dicuri yang dijatuhkan hukuman potong tangan kadangkala disebutkan
harganya 3 dirham atau ¼ dinar dan terkadang pula disebutkan harganya 10
dirham. Karena alasan kedua pendapat tersebbut saling bertentangan maka, Ibn
Hajar mengkompromikan hadis-hadis yang mereka jadikan dasar dalam menetabkan
nisab barang curian itu, bahwa Nabi memotong tangan pencuri seharga perisai
yang harganya berbeda karena berbeda waktu pelaksanaan hukuman. Satu kali
Rasulullah menjatuhkan hukuman potong tangan seharga perisai yang harganya 3
dirham atau ¼ dinar dan satu kali beliau menyatakan hukuman potong tangan
seharga perisai yang harganya 10 dirham, atau harga perisai itu berbeda karena
perbedaan kualitasnya.
Nampaknya
pendapat yang lebih tepat adalah pendapat kelompok kedua yaitu pendapat ulama
Hanafiyah, mazhab Fitrah dan Fuqaha Irak yang mengatakan bahwa nisab nisab
barang curian yang mew jibkan
hukuman potong tangan adalah 10 dirham. Karena htidak ada perbedaan pendapat
tentang wajib potong tangan pada barang curian yang mencapi harga 10 dirham,
dan yang diperselisihkan adalah nisab 3 dirham.
Perbedaan
itu membawa kepada syubhat yang menggugurkan hukuman potong tangan sebagaimana
disebutkan dalam hadis-hadis tersebut.
c. Barang Curian Itu Diambil
Secara Sembunyi-sembunyi Dari
Tempat Penyimpanan.
Unsur ini
didasarkan hadis riwayat Amr bin al- Ash berikut;
عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده
عبد الله بن عمرو بن العاص: عن رسول الله صلى الله عليه و سلم أنه سئل عن الثمر
المعلق فقال " من أصاب بفيه من ذي حاجة غير متخذ خبنة فلا شىء عليه ومن خرج
بشىء منه فعليه غرامة مثليه والعقوبة ومن سرق منه شيئا بعد أن يؤويه الجرين فبلغ
ثمن المجن فعليه القطع .
Artinya: Dari
Amr bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya yaitu Amr bin al- Ash; Dari
Rasulullah saw, sesungguhnya Rasulullah saw. ditanya tentang buah yang
tergantung diatas pohon, lalu beliau bersabda; barangsiapa yang mengambil
barang orang lain karena terpaksa untuk menghilangkan lapar dan tidak terus-
menerus, maka tidak dijatuhkan hukuman kepadanya. Dan barangsiapa mengambil
sesuatu barang, sedang ia tidak membutuhkannya dan tidak untuk menghilangkan
lapar, maka wajib atasnya mengganti barang tersebut dengan yang serupa dan
diberikan hukuman ta’zir. Dan barangsiapa mengambil sesuatu barang sedangkan ia
tidak dalam keadaan membutuhkan, dengan sembunyi-sembunyi setelah diletaknya di
tempat penyimpanannya atau dijaga oleh penjaga, kemudian nilainya seharga perisai maka wajib atasnya
dihukum potong tangan. (HR. Abu Daud).
Hadis tersebut
jelas menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan hukum potong tangan itu, adalah
pencuri mengambil harta dengan cara sembunyi-sembunyi dari tempat yang biasa
digunakan untuk menyimpan harta tersebut atau ada orang yang menjaganya dan
telah senisab.
Demikianlah tiga
unsur pencurian yang harus di penuhi dalam pelaksanaan hukum potong tangan
terhadap pencuri. Selain unsur-unsur pencurian yang telah disebutkan harus diperhatikan dalam menjatuhkan
hukum potong tangan juga harus diperhatikan situasi dan kondisi sosial
masyarakat tempat tinggal si pencuri. Tanpa memperhatikan situasi dan kondisi
masyarakat maka hal itu dianggap syubhat dalam pelaksanaan hukum potong tangan,
karena dalam pelaksanaan hukum tesebut tidak boleh ada syubhat, sebagaimana
disebutkan dalam hadis
Rasulullah SAW .
كان له مخرج فخلوا سبيله فإن
الإمام أن يخطئ في العفو خير من أن يخطئ في العقوبة
Artinya:Tangguhkan hudud (hukuman) terhadap orang-orang
islam sesuai dengan kemampuanmu. Jika ada jalan keluar maka biarkanlah mereka
menempuh jalan itu. Sesungguhnya penguasa tersalah dalam memaafkan, lebih baik
dari tersalah dalam pelaksanaan hukuman. (HR. Al- Tirmidzi)
Atas dasar ini,
sebelum hukuman-hukuman diterapkan atau dijatuhkan pada si pelanggar, terlebih
dahulu harus diciptakan kondisi sosial ekonomi yang adil di dalam masyarakat di
mana orang yang melanggar hukum hudud itu hidup. Jika belum tercipta kondisi
seperti itu, hukuman tersebut tidak boleh dilaksanakan karena pelaksanaannya
merupakan kezaliman.
Di akhir tahun
ke-18 Hijriyah, masyarakat Arab di Hijaz, Tihama, dan Nejd mengalamai musim
paceklik yang berat. Peristiwa ini terjadi pada musim kemarau yang panjang.
Hujan yang menjadi ukuran kehidupan mereka, selama sembilan bulan terus menerus
telah terputus, bumi berubah menjadi seperti abu.
Pada masa ini
Umar tidak menjatuhkan hukum potong tangan terhadap pencuri, karena kurang
illat yang mengharuskan hukuman potong tanganyang disebut dalam ushul fiqhi
dengan Al illat An Naqisbab.
Dalam riawayat
tersebut dapat di pahami, bahwa kebijaksanaan Umar untuk tidak melaksanakan
hukuman potong tangan, karena ia memperhatikan subyek pelakunya dalam kondisi
darurat, yaitu kesulitan mendapatkan bahan makanan ketika itu. Sebagaimana di
sebutkan fiqh Umar : Siapa yang mencuri dalam keadaan darurat dibolehkan
menangguhkan hukuman kepadanya, karena terdapat perkataan syubhat bagi dirinya
dan dibolehkan yang terlarang karena darurat. Hal ini disebutkan pula di dalam
Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 173.
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ
إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ …
Artinya: Maka
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam ayat ini
disebutkan, bahwa seseorang yang dalam keadaan darurat dibolehkan memakan yang
terlarang. Didalam qaidah disebutkan pula;
الضرورات تبيح
المحظورات
Artinya: Keadaan
darurat itu membolehkan melakukan yang terlarang.[2]
Dalam kasus
pencurian dimasa Umar bin Al Khattab ada dua yang bertentangan pada diri pencuri
tersebut. Pertama menjaga diri dari jatuh ke dalam
kebinasaan dengan tidak diperbolehkannya makan. Kedua menjaga harta orang lain dari
teraniaya.Keduanya wajib di pelihara, karena kedua-duanya termasuk aspek dharuriyat(primer). Mana yang
harus didahulukan dari keduanya? Berpedoman pada prinsip tersebut di atas, maka
dalam peristiwa serupa ini maka menjaga diri dari kebinasaan harus di dahulukan
dari menjaga harta orang lain. Dengan demikian, syubhat dalam pencurian tersebut
dilarang mencuri, adapula dalil yang membolehkannya dalam keadaan darurat.
Disini dapat
dipahami, bahwa keputusan Umar yang tidak menjatuhkan hukuman kepada pencuri
itu, berkaitan erat dengan masalah tujuan syari’at (مقاصد
الشريعة), yang menekankan agar manusia senantiasa menjaga dan melindungi
lima unsur Dharuriyah (primer), yaitu memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dari kelima
unsur itu, mempertahankan jiwa menempati peringkat kedua setelah agama,
sedangkan melindungi harta menduduki urutan kelima(terakhir). Oleh karena itu,
dalam kasus ini Umar tidak melaksanakan hukuman potong tangan karena jiwa lebih
mulia daripada harta
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa hukuman (had) potong tangan terhadap pencuri
adalah sebagai hukuman maksimal, di samping harus terpenuhi syarat-syarat yang
terdapat dalam unsur pencurian , harus di perhatikan pula situasi dan kondisi
sosial masyarakat tempat domisili si pencuri. Apabila memenuhi syarat menurut
syari’at , baru dapat dilaksanakan hukuman potong tangan bagi pelakunya .
syarat-syarat tersebut agaknya susah dipenuhi, maka kepada sipencuri dikenakan
hukuman ta’zir, yaitu hukuman pendidikan dan pelajaran yang tidak disyariatkan
dalam hukuman (had) yang bentuk hukumannya berbeda-beda, sesuai dengan keadaan
kejahatan dan pelakunya. Hukuman ta’zir ini berat dan ringannya hanya
diserahkan kepada penguasa/hakim untuk menentukan hukuman mana yang sesuai di
berikan kepada pelaku kejahatan.
Wallahu A’alam
Di akhir tahun ke-18 Hijriyah, masyarakat Arab di Hijaz, Tihama, dan Nejd mengalamai musim paceklik yang berat. Peristiwa ini terjadi pada musim kemarau yang panjang. Hujan yang menjadi ukuran kehidupan mereka, selama sembilan bulan terus menerus telah terputus, bumi berubah menjadi seperti abu.
Pada masa ini Umar tidak menjatuhkan hukum potong tangan terhadap pencuri, karena kurang illat yang mengharuskan hukuman potong tanganyang disebut dalam ushul fiqhi dengan Al illat An Naqisbab.
Dalam riawayat tersebut dapat di pahami, bahwa kebijaksanaan Umar untuk tidak melaksanakan hukuman potong tangan, karena ia memperhatikan subyek pelakunya dalam kondisi darurat, yaitu kesulitan mendapatkan bahan makanan ketika itu. Sebagaimana di sebutkan fiqh Umar : Siapa yang mencuri dalam keadaan darurat dibolehkan menangguhkan hukuman kepadanya, karena terdapat perkataan syubhat bagi dirinya dan dibolehkan yang terlarang karena darurat. Hal ini disebutkan pula di dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 173.
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ …
Artinya: Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam ayat ini disebutkan, bahwa seseorang yang dalam keadaan darurat dibolehkan memakan yang terlarang. Didalam qaidah disebutkan pula;
الضرورات تبيح المحظورات
Artinya: Keadaan darurat itu membolehkan melakukan yang terlarang.[2]
Dalam kasus pencurian dimasa Umar bin Al Khattab ada dua yang bertentangan pada diri pencuri tersebut. Pertama menjaga diri dari jatuh ke dalam kebinasaan dengan tidak diperbolehkannya makan. Kedua menjaga harta orang lain dari teraniaya.Keduanya wajib di pelihara, karena kedua-duanya termasuk aspek dharuriyat(primer). Mana yang harus didahulukan dari keduanya? Berpedoman pada prinsip tersebut di atas, maka dalam peristiwa serupa ini maka menjaga diri dari kebinasaan harus di dahulukan dari menjaga harta orang lain. Dengan demikian, syubhat dalam pencurian tersebut dilarang mencuri, adapula dalil yang membolehkannya dalam keadaan darurat.
Disini dapat dipahami, bahwa keputusan Umar yang tidak menjatuhkan hukuman kepada pencuri itu, berkaitan erat dengan masalah tujuan syari’at (مقاصد الشريعة), yang menekankan agar manusia senantiasa menjaga dan melindungi lima unsur Dharuriyah (primer), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dari kelima unsur itu, mempertahankan jiwa menempati peringkat kedua setelah agama, sedangkan melindungi harta menduduki urutan kelima(terakhir). Oleh karena itu, dalam kasus ini Umar tidak melaksanakan hukuman potong tangan karena jiwa lebih mulia daripada harta
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukuman (had) potong tangan terhadap pencuri adalah sebagai hukuman maksimal, di samping harus terpenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam unsur pencurian , harus di perhatikan pula situasi dan kondisi sosial masyarakat tempat domisili si pencuri. Apabila memenuhi syarat menurut syari’at , baru dapat dilaksanakan hukuman potong tangan bagi pelakunya . syarat-syarat tersebut agaknya susah dipenuhi, maka kepada sipencuri dikenakan hukuman ta’zir, yaitu hukuman pendidikan dan pelajaran yang tidak disyariatkan dalam hukuman (had) yang bentuk hukumannya berbeda-beda, sesuai dengan keadaan kejahatan dan pelakunya. Hukuman ta’zir ini berat dan ringannya hanya diserahkan kepada penguasa/hakim untuk menentukan hukuman mana yang sesuai di berikan kepada pelaku kejahatan.
3. Hukum Membunuh dalam Islam
Pada dasarnya tidak ada satupun agama di dunia ini yang menghalalkan pembunuhan, sebab tujuan agama adalah untuk perdamaian, menyebarkan kasih sayang, dan mengatur tatanan sosial agar lebih baik. Begitu pula dengan doktrin agama Islam, sejak awal penurunannya sudah ditegaskan bahwa Islam mengemban visi kerahmatan (QS: al-Anbiya’: 107). Sehingga hampir tidak ditemukan pembenaran kejahatan dalam ajaran Islam. Dengan demikian, bila ada sekelompok orang melakukan kejahatan dengan mengatasnamakan Islam, ketahuilah bahwa apa yang mereka lakukan itu sangat bertentangan dengan filosofi Islam itu sendiri.
Dalam al-Qur’an dikatakan, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (QS: Al-Maidah: 32).Ayat ini adalah salah satu contoh kecaman Islam atas setiap pembunuhan yang dilakukan dengan semena-mena.
Membunuh satu orang manusia ditamsilkan dengan membunuh semua manusia. Karena setiap manusia pasti memiliki keluarga, keturunan, dan ia merupakan anggota dari masyarakat. Membunuh satu orang, secara tidak langsung akan menyakiti keluarga, keturunan, dan masyarakat yang hidup di sekelilingnya. Maka dari itu, Islam menggolongkan pembunuhan sebagai dosa besar kedua setelah syirik (HR: al-Bukhari dan Muslim). Kelak pelaku pembunuhan akan mendapatkan balasan berupa neraka jahannam (QS: al-Nisa’: 93).
Aturan ini tentu tidak hanya dikhususkan untuk umat Islam saja dan bukan berati non-muslim dihalalkan darahnya,karena misi kerahmatan yang dibawa Islam tidak hanya untuk orang Islam semata, tetapi untuk seluruh semesta. Dalam hadis riwayat al-Bukhari disebutkan, man qatala dzimmiyan lam yarih ra‘ihah al-jannah, orang yang membunuh seorang dzimmi (non-muslim yang berada dalam perjanjian keamanan), maka ia tidak akan mencium aroma surga. Hadis ini ialah salah satu landasan larangan membunuh non-muslim dalam Islam.
Pembunuhan yang Diperbolehkan
Dalam kondisi terntentu, pembunuhan tetap diperbolehkan dengan beberapa syarat dan aturan. Ada dua kondisi yang dibolehkan untuk menghilangkan nyawa manusia: membunuh ketika perperangan dan membunuh ketika menghukum. Membunuh dalam kedua kondisi ini diperbolehkan selama tidak berlebih-lebihan (QS: Al-Baqarah: 190). Konflik yang berimbas pada perperangan tentu membunuh antara satu sama lainnya tidak terelakkan.
Perperangan yang dimaksud di sini ialah perperangan yang terjadi dalam rangka mempertahankan agama, negara, dan harga diri. Perang bisa dilakukan ketika keberadan satu komunitas diancam oleh komunitas lain dan tidak menemukan cara lain untuk mengatasinya kecuali dengan berperang. Selama masih bisa diselesaikan dengan cara lain, maka perang tidak boleh dilakukan. Oleh sebab itu, jika merujuk kepada sejarah Islam, perang adalah solusi terakhir dan biasanya terjadi ketika umat Islam sudah diserang dan dikhianati terlebih dahulu oleh musuh.
Namun perlu digarisbawahi, membunuh diperbolehkan ketika kedua belah pihak sudah sepakat untuk berperang. Bila salah satunya sudah mengalah, maka menyerang lawan tidak boleh dilakukan. Dan perlu diketahui pula, yang diperbolehkan untuk dibunuh hanyalah pasukan perang saja. Sementara anak, istri, dan keluarganya yang tidak ikut berperang tidak boleh dibunuh.
Andaikan terjadi perperangan antara orang Islam dengan non-muslim, maka non-muslim yang dibunuh hanyalah yang ikut serta dalam perperangan saja, sedangkan yang tidak ikut berperang diharamkan untuk dibunuh. Ibnu al-‘Arabi dalam Ahkam al-Qur’an mengatakan, “Janganlah membunuh kecuali terhadap orang yang telah memerangimu. Orang yang diperbolehkan untuk dibunuh dalam perperangan ialah laki-laki dewasa saja, sementara perempuan, anak-anak, dan para pendeta tidak diperbolehkan untuk membunuhnya.”
Kemudian, pembunuhan boleh dilakukan ketika menghukum pelaku kriminal. Maksudnya, membunuh dalam rangka menghukum. Hal ini tentu hanya berlaku bagi negara yang menerapkan hukuman mati. Dalam Islam, hukum mati boleh dilakukan ketika pelaku telah membunuh orang lain, melakukan pemberontakan, dan melakukan kejahatan yang menganggu kenyaman hidup orang banyak. Hukuman mati boleh dilakukan ketika di sebuah negara sepakat untuk menerapkannya dan orang yang diperbolehkan untuk melakukannya hanyalah pejabat yang sudah ditunjuk oleh hakim ataupun presiden.
Jika seorang melakukan pembunuhan misalnya, hukuman tersebut bisa diterapkan bila keluarga korban menuntut untuk membalasnya dengan bentuk hukuman yang setimpal (nyawa dibayar nyawa). Akan tetapi, hukuman qishash terbatalkan bila pelaku mendapatkan ampunan dan maaf dari keluarga korban. Begitu pula dengan pelaku makar dan perusak hidup orang banyak, mereka baru bisa dihukum mati bila hakim dan pembuat kebijakan negara memutuskan hukuman mati untuk mereka
Dalam al-Qur’an dikatakan, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” (QS: Al-Maidah: 32).Ayat ini adalah salah satu contoh kecaman Islam atas setiap pembunuhan yang dilakukan dengan semena-mena.
Membunuh satu orang manusia ditamsilkan dengan membunuh semua manusia. Karena setiap manusia pasti memiliki keluarga, keturunan, dan ia merupakan anggota dari masyarakat. Membunuh satu orang, secara tidak langsung akan menyakiti keluarga, keturunan, dan masyarakat yang hidup di sekelilingnya. Maka dari itu, Islam menggolongkan pembunuhan sebagai dosa besar kedua setelah syirik (HR: al-Bukhari dan Muslim). Kelak pelaku pembunuhan akan mendapatkan balasan berupa neraka jahannam (QS: al-Nisa’: 93).
Aturan ini tentu tidak hanya dikhususkan untuk umat Islam saja dan bukan berati non-muslim dihalalkan darahnya,karena misi kerahmatan yang dibawa Islam tidak hanya untuk orang Islam semata, tetapi untuk seluruh semesta. Dalam hadis riwayat al-Bukhari disebutkan, man qatala dzimmiyan lam yarih ra‘ihah al-jannah, orang yang membunuh seorang dzimmi (non-muslim yang berada dalam perjanjian keamanan), maka ia tidak akan mencium aroma surga. Hadis ini ialah salah satu landasan larangan membunuh non-muslim dalam Islam.
Pembunuhan yang Diperbolehkan
Dalam kondisi terntentu, pembunuhan tetap diperbolehkan dengan beberapa syarat dan aturan. Ada dua kondisi yang dibolehkan untuk menghilangkan nyawa manusia: membunuh ketika perperangan dan membunuh ketika menghukum. Membunuh dalam kedua kondisi ini diperbolehkan selama tidak berlebih-lebihan (QS: Al-Baqarah: 190). Konflik yang berimbas pada perperangan tentu membunuh antara satu sama lainnya tidak terelakkan.
Perperangan yang dimaksud di sini ialah perperangan yang terjadi dalam rangka mempertahankan agama, negara, dan harga diri. Perang bisa dilakukan ketika keberadan satu komunitas diancam oleh komunitas lain dan tidak menemukan cara lain untuk mengatasinya kecuali dengan berperang. Selama masih bisa diselesaikan dengan cara lain, maka perang tidak boleh dilakukan. Oleh sebab itu, jika merujuk kepada sejarah Islam, perang adalah solusi terakhir dan biasanya terjadi ketika umat Islam sudah diserang dan dikhianati terlebih dahulu oleh musuh.
Namun perlu digarisbawahi, membunuh diperbolehkan ketika kedua belah pihak sudah sepakat untuk berperang. Bila salah satunya sudah mengalah, maka menyerang lawan tidak boleh dilakukan. Dan perlu diketahui pula, yang diperbolehkan untuk dibunuh hanyalah pasukan perang saja. Sementara anak, istri, dan keluarganya yang tidak ikut berperang tidak boleh dibunuh.
Andaikan terjadi perperangan antara orang Islam dengan non-muslim, maka non-muslim yang dibunuh hanyalah yang ikut serta dalam perperangan saja, sedangkan yang tidak ikut berperang diharamkan untuk dibunuh. Ibnu al-‘Arabi dalam Ahkam al-Qur’an mengatakan, “Janganlah membunuh kecuali terhadap orang yang telah memerangimu. Orang yang diperbolehkan untuk dibunuh dalam perperangan ialah laki-laki dewasa saja, sementara perempuan, anak-anak, dan para pendeta tidak diperbolehkan untuk membunuhnya.”
Kemudian, pembunuhan boleh dilakukan ketika menghukum pelaku kriminal. Maksudnya, membunuh dalam rangka menghukum. Hal ini tentu hanya berlaku bagi negara yang menerapkan hukuman mati. Dalam Islam, hukum mati boleh dilakukan ketika pelaku telah membunuh orang lain, melakukan pemberontakan, dan melakukan kejahatan yang menganggu kenyaman hidup orang banyak. Hukuman mati boleh dilakukan ketika di sebuah negara sepakat untuk menerapkannya dan orang yang diperbolehkan untuk melakukannya hanyalah pejabat yang sudah ditunjuk oleh hakim ataupun presiden.
Jika seorang melakukan pembunuhan misalnya, hukuman tersebut bisa diterapkan bila keluarga korban menuntut untuk membalasnya dengan bentuk hukuman yang setimpal (nyawa dibayar nyawa). Akan tetapi, hukuman qishash terbatalkan bila pelaku mendapatkan ampunan dan maaf dari keluarga korban. Begitu pula dengan pelaku makar dan perusak hidup orang banyak, mereka baru bisa dihukum mati bila hakim dan pembuat kebijakan negara memutuskan hukuman mati untuk mereka
DAN ITULAH ARTIKEL MENEGENAI HUKUM ISLAM
WASSAKAMUALLAIKUM WR WB
SEMOGA BERMANFAAT
LIKE AND COMMENT DIBAWAH SINI
Komentar
Posting Komentar