Langsung ke konten utama

Makna Mendalam Surat Al Ghaasyiyah [1]

Makna Mendalam Surat Al Ghaasyiyah [1]

Hari kiamat, suatu hari yang pasti akan terjadi. Kita tidak tahu kapan, yang kita bisa hanya mempersiapkan amalan kita untuk menghadapinya, menghadapi hari setelahnya, hari akhir. Suatu tempat kembali bagi kita, setelah kehidupan kita di dunia yang hanya sementara. 
“Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit). Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari. (QS An Naazi’at: 45-46)
Imam Malik meriwayatkan dari Dhamurah bin Sa’id, dari Ubaidillah bin ‘Abdilah bahwa adh-Dhahhak bin Qais pernah bertanya kepada an-Nu’man bin Basyir mengenai surat yang biasa dibaca oleh Rasulullah pada shalat Jum’at bersamaan dengan surat al-Jumu’ah. Dia menjawab: “Hal ataaka hadiitsul ghaasyiyah.” Demikian yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan an-Nasa’i. Juga diriwayatkan oleh Muslim dan Ibnu Majah.
Tidak serta merta surat ini begitu istimewa sehingga selalu dibaca oleh Rasulullah setiap shalat Jum’at. Maka keuntungan yang teramat sangat jika kita mau mengkaji makna dibalik surat al-Ghaasyiyah.
Dalam buku tafsir Ibnu Katsir, menggolongkan atau lebih tepatnya mengkategorikan surat al- Gaasyiyah ini menjadi 3 kategori:
  1. Al-Ghaasyiyah ayat 1-7
  2. Al-Ghaasyiyah ayat 8-16
  3. Al-Ghaasyiyah ayat 17-26
Seperti yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Qatadah, dan Ibnu Zaid, surat Al-Ghaasyiyah ini menceritakan  gambaran mengenai hari kiamat dan merupakan salah satu dari nama-nama hari kiamat.
 531218 10151250755419355 1954296100 n 150x148 Makna Mendalam Surat Al Ghaasyiyah [1]
1.   Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan?
(Tafsir / Indonesia /DEPAG/ Surah Al Ghaasyiyah 1)
Allah SWT menyindir penduduk neraka dengan mengatakan, sudahkah sampai kepada kamu berita tentang Hari Kiamat? Dan dalam tafsir jalalain, yang dimaksudkan dengan hari kiamat adalah hari yang menutupi karena pada hari itu semua makhluk diselimuti oleh kengerian-kengeriannya.
2.  Banyak muka pada hari itu tunduk terhina
(Tafsir / Indonesia / Ibnu Katsir / Surah Al Ghaasyiyah 2)/
Ayat ini pun menjelaskan tentang ayat pertama mengenai gambaran ketika adanya hari Kiamat, ketika manusia terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan orang-orang kafir dan golongan orang-orang mukmin. Dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang kondisi orang-orang kafir yang merasa tertunduk dan terhina. Sesuai yang dikatakan pula oleh Qatadah yang berkata : “yakni, dalam keadaan hina.” Ibnu Abbas berkata: “Yang membuat Khusyu dan mengamalkannya tidak mendatangkan manfaat.” (tafsir Ibnu Katsir)
(Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Ghaasyiyah 2)
Ayat yang lain pun menceritakan kondisi yang serupa, Allah berfirman:
Dan (alangkah ngerinya) jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya (mereka berkata), “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin”. (Q.S. As Sajdah: 12)
Dan firman-Nya:
Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tunduk karena (merasa) hina, mereka melihat dengan pandangan yang lesu. Dan orang-orang yang beriman berkata: “Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang kehilangan diri mereka sendiri dan (kehilangan) keluarga mereka pada Hari Kiamat. Ingatlah, sesungguhnya orang-orang yang zalim itu berada dalam azab yang kekal”. (Q.S. Asy Syu’ara’: 45)
3.  Bekerja keras lagi kepayahan,(QS. 88:3)
(Tafsir / Indonesia / Ibnu Katsir / Surah Al Ghaasyiyah 3)
Dalam tafsir Ibnu katsir, Allah menerangkan bahwa orang-orang kafir itu semasa hidupnya mengerjakan amalan yang sangat banyak sehingga menuai kepayahan, dan pada hari Kiamat kelak dia akan dicampakkan ke dalam Neraka yang menyala-nyala. Imam al-Bukhari meriwayatkan ayat ini menurut Ibnu ‘Abbas “Yaitu orang-orang Nasrani.” Dan Ikrimah dan as-Suddi: “Yakni bekerja keras di dunia dengan berbagai macam maksiat sehingga merasakan kepayahan di dalam Neraka dengan azab dan kebinasaan.”
4.  Memasuki api yang sangat panas (neraka)
(Tafsir / Indonesia / Ibnu Katsir / Surah Al Ghaasyiyah 4)
mengenai firman-Nya, Ibnu  ‘Abbas, al-Hasan, dan Qatadah mengatakan:”Yakni, benar-benar sangat panas.”  Menerangkan bahwa orang-orang kafir itu akan dimasukkan ke dalam api yang sangat panas ialah neraka.
(Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Ghaasyiyah 4)
Bila mereka meminta air karena haus, maka mereka diberi air dari sumbernya yang sangat panas. Dan bila mereka meminta makan, maka diberi makanan yang jelek, yang tidak menggemukkan dan tidak menghilangkan lapar.
Dalam ayat-ayat yang lain yang sama maksudnya, Allah berfirman:
Dan tiada (pula) makanan sedikitpun (baginya) kecuali dari darah dan nanah. (Q.S. Al-Haqqah: 36)
Dan firman Allah:
Kemudian sesungguhnya kamu hai orang yang sesat lagi mendustakan, benar-benar akan memakan pohon zaqqum. (Q.S. Al-Waqi’ah: 51, 52)
Dan firman Nya:
Sesungguhnya pohon zaqqum itu, makanan orang yang banyak berdosa. (Q.S. Ad Dukhan: 43, 44)
(Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Ghaasyiyah 4)
Arti kata tashlaa (Memasuki) dapat dibaca Tashlaa dan Tushlaa, jika dibaca Tushlaa artinya dimasukkan ke dalam (api yang sangat panas.)
 5. Diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas.
(Tafsir / Indonesia / Ibnu Katsir / Surah Al Ghaasyiyah 5)
Maksudnya, air panas yang  didihannya telah sampai pada puncaknya. (dikemukakan Ibnu ‘Abbas, Mujahid, al-Hasan, dan as-Suddi).
6.  Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon berduri
(Tafsir / Indonesia / Ibnu Katsir / Surah Al Ghaasyiyah 6)
Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbad: “yaitu pohon dari neraka”, sedangkan Sa’id bin Jubair mengemukakan :”Yakni pohon Zaqqum.” Mujahid mengatakan “adh-dharii” berarti sebuah tumbuhan yang diberi nama asy-syibraq, yang oleh penduduk Hijaz diberi nama “adh-dharii” jika sudah mengeringg, dan pohon tersebut beracun.
7.  Yang tidak menggemukan dan tidak pula menghilangkan lapar.
(Tafsir / Indonesia / Ibnu Katsir / Surah Al Ghaasyiyah 7)
Yakni, dengan tujuan tidak akan dapat tercapai dan tidak pula bahayanya dapat dihindari.
Wallahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Mencuri Dalam Islam :

Hukum Mencuri Dalam Islam : Maksud mencuri dari segi syarak: Mengambil harta milik orang lain secara sembunyi-sembunyi dari harta yang dijaga dengan syarat-syarat tertentu. Dari definisi mencuri di atas,mencuri adalah mengambil harta secara sembunyi-sembunyi.Oleh itu tidak dikatakan mencuri jika seseorang itu merompak,menggelap wang syarikat (pecah amanah),merampas dan meragut. Dalil Wajib Potong Tangan Pencuri Firman Allah: وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ Lelaki yang mencuri dan wanita yang mencuri,potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri,maka sesu

Ilmu nahwu

Ilmu nahwu Ilmu an-Nahwu ( Arab : ﻋﻠﻢ اﻟﻦحو ‎; bahasa Indonesia : nahu, sintaksis ; bahasa Inggris : syntax ) merupakan salah satu bagian dasar dari ilmu tata bahasa bahasa Arab untuk mengetahui jabatan kata dalam kalimat dan bentuk huruf/harakat terakhir dari suatu kata. Asal Usul Ilmu Nahu Asal-Usul Ilmu Nahu       Setelah Islam tersebar ke merata dunia dan meluasnya kekuasaan kerajaan Islam, ramai pemeluknya dari kalangan orang yang bukan arab, sehingga penggunaan bahasa arabpun semakin meluas di kalangan masyarakat, yang merupakan punca kesalahan dalam bahasa. Hal demikian memaksa para ulamak zaman itu mencipta kaedah-kaedah bahasa untuk membendung kesalahan yang sangat menonjol, lebih-lebih lagi dalam hal-hal yang berkaitan dengan Al-Quran dan ilmu-ilmu Islam yang lain. Telah dicatatkan bahawa di antara pakar-pakar Nahu pada masa itu adalah Abdullah bin Ishaq (wafat 730 M), Abu Al-Aswad Al-Du’ali (wafat 688 M), Al-Farahidi (wafat 791 M) dan Sibawaihi (w

Pinjam Meminjam dalam Islam

Pinjam Meminjam dalam Islam Pengertian Pinjam Meminjam Pinjam meminjam dalam istilah fikih disebut ‘ariyah. ‘Ariyah berasal dari bahasa Arab yang artinya pinjaman. ‘Ariyah adalah pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharap imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak barang dan dikembalikan secara utuh, tepat pada waktunya. Semua benda yang dapat diambil manfaatnya dapat dipinjam atau dipinjamkan. Peminjam harus menjaga barang tersebut agar tidak rusak, atau hilang. Peminjam hanya boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjam. Sebagai bentuk tolong menolong, pinjam meminjam merupakan bentuk pertolongan kepada orang yang sangat membutuhkan suatu barang. Pinjam meminjam dalam kehidupan sehari-hari dapat menjalin tali silaturrahim, menumbuhkan rasa saling membutuhkan, saling menghormati, dan saling mengasihi. Oleh karena itu dalam masyarakat Islam, pinjam meminjam harus dilandasi dengan semangat dan nilai-nilai ajaran Islam. Allah SWT memberi