Langsung ke konten utama

memahami isi kandungan Qs al-Ashr

memahami isi kandungan Qs al-Ashr وَالْعَصْرِ ) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ ) إِلاَّ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْاوَعَمِلُواالصَّالِحَاتِ وَتَوَا صَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ) Artinya: Demi masa (1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (2) kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran (3). (QS: Al-Asar: 1-3) Ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa manusia itu akan rugi jika ia lalai terhadap waktu. ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa bagi manusia yang tidak menghargai waktu untuk hal-hal yang bermanfaat niscaya manusia itu akan rugi. Ayat ini juga merupakan wahyu kesembilan yang diterima oleh nabi Muhammad SAW. Sedangkan wahyu yang sebelumnya adalah surat Alam Nasyrah. Imam Syafi’i menilai surat ini sebagai salah satu surat yang paling sempurna petunjuknya, beliau menyatakan; “seandainya ummat Islam memikirkan kandungan surat ini niscaya (petunjuk-petunjuknya) mencukupi mereka.” Dalam Al-quran jika kita melihat urutan penulisannya, surat ini terletak pada urutan ke-103, tepatnya setelah surat al-takasur dan sebelum surat al-humazah. Lalu apa kaitan antara surat ini dengan surat sebelumnya? Dalam surat at-takasur, Allah SWT memperingatkan manusia yang menjadikan seluruh aktifitasnya hanya berupa perlombaan menumpuk-numpuk harta, serta menghabiskan waktunya hanya untuk maksud tersebut, sehingga mereka lalai akan tujuan utama dari kehidupan ini, yaitu untuk menghambahkan diri kepadanya. Sedangkan pada surat ini (al-Asahr) Allah memperingatkan tentang pentingnya waktu dan bagaimana seharusnya kita isi waktu tersebut supaya lebih bermanfaat dan mendapat ridho Allah tentunya. Kemudian jika kita perhatikan surat ini dimulai dengan huruf sumpah(والعصر) yang bermakna “Demi masa”. Para ulama sepakat kata (العصر) pada ayat pertama pada surat ini, dengan makna waktu, namum mereka tetap berbeda pendapat tentang waktu yang dimaksud. Pendapat-pendapat itu antara lain: 1. Waktu atau masa dimana langkah dan gerak tertampung di dalamnya. 2. Waktu tertentu, yakni waktu dimana sholat ashar dapat dilaksanakan. 3. Saat sholat ashar dilaksanakan 4. Waktu atau masa kehadiran Nabi Muhammad SAW dalam pentas kehidupan ini. Apa yang Allah maksudkan, sehingga pada awal surat tersebut Allah bersumpah “Demi waktu”. Menurut Abduh: “telah terjadi kebiasaan orang-orang Arab pada masanya turunnya Al-quran untuk berkumpul dan berbincang-bincang menyangkut berbagai hal, dan tidak jarang dalam perbincangan mereka itu terlontar kata-kata yang mempersalahkan waktu atau masa. “ waktu sial” demikian sering kali ucapan yang tersdengar dari mulut mereka bila mereka gagal, atau “waktu keberuntungan” jika mereka berhasil. Hal yang demikian dalam ajaran Islam dilarang, kerena dalam ajaran Islam tidak ada yang namanya “waktu sial” atau “waktu keberuntungan” semua waktu itu sama. Yang berpengarauh adalah kebaikan dan keburukan seseorang dalam berusaha, maupun dalam aktivitas yang mereka kerjakan, dan inilah yang berperan baik (beruntung) atau buruknya (sial) kesudahan suatu pekerjaan, kerena waktu itu bersifat tidak memihak kepada kebaikan maupun kepada keburukan. Waktu adalah milik Tuhan, di dalamnya Tuhan melaksanakan segala perbuatan-Nya, seperti; menciptakan dunia beserta isinya, memberi rizki makhluk-makhluknya, memuliakan dan menghinakan. Nah, berarti kalau demikian adanya, waktu itu tidak perlu kita kutuk, ataupun kita sebut waktu membawa keberuntungan atau juga kesialan. Janganlah mencerca waktu, kerena Allah adalah pemilik waktu, jika kita menghina waktu berarti sama saja kita telah menghina yang menciptakan waktu tersebut yakni Allah SWT. Di atas telah disinggung bahwa orang yang tidak bisa memanfaatkan waktu secara maksimal maka orang itu akan merugi, kerugian itu mungkin tidak akan kita rasakan pada waktu dini, tetapi pasti akan kita sadarinya ketika pada waktu tua nantinya. Kita sering menemukan atau mendengarkan orang bilang kalau dia sangat menyesal telah menyia-nyiakan waktu mudahnya dengan hal yang tidak bermanfaat, mari kita jadikan itu semua sebagai contoh untuk kita lebih berhati-hati dalam memanfaatkan waktu. Kerena waktu itu tidak akan pernah kembali. Pada ayat kedua pada surat al-ashr diatas menyebutkan bahwa “manusia berada dalam kerugian”. Kerugian itu seakan-akan menjadi suatu tempat/wadah, dan manusia berada olah wadah tersebut. Yang dimaksud ayat di atas mengandung arti bahwa manusia berada dalam kerugian total, tidak ada satu sisi dari diri dan usahanya yang luput dari kerugian; dan kerugian itu, amat besar bagi mereka, maka timbul pertanyaan mengapa demikian? Kalau kita kembali kepada makna ayat pertama “Demi masa” serta kaitannya dengan ayat kedua “sesungguhnya manusia berada di dalam kerugian” maka kita akan mengetahui bahwa waktu itu merupakan modal utama manusia. Apabila waktu itu tidak diisi dengan kegiatan yang positif, maka waktu itu akan berlalu begitu saja; ia akan hilang meninggalkan kita. Dan ketika itu, jangankan keuntungan yang diperoleh, modal awal saja sudah hilang. Sayyidina Ali r.a. pernah berkata: Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan lebih dari itu diperoleh esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini tidak mungkin dapat diharapkan kembali esok hari. Sejalan dengan ungkapan diatas, ada sebuah riwayat yang menyatakan: Tidak terbitnya suatu fajar kecuali seseorang (malaikat) berseru: “wahai putra-putri Adam, aku adalah mahkluk baru, aku menjadi saksi atas usaha-usahamu. Ambillah keuntungan (gunakanlah aku) kerena aku tidak akan kembali lagi hingga hari kemudian.” Kalau demikian, waktu harus dimanfaatkan sebaik mungkin kerena apabila tidak kita isi dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat maka kita akan rugi, janganlah sekali-kali kita isi dengan kegiatan yang tidak bermanfaat (negatif), jika hal yang demikian yang selalu kita perhatikan niscaya kita tidak akan merasa rugi (penyesalan) nantinya. Disinilah terlihat kaitan antara ayat pertama dengan ayat kedua, dan dari sini pula ditemukan sekian banyak hadits Nabi SAW. Yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin. Dalam suatu riwayat disebutkan: “Dua nikmat yang sering dilupakan (disia-siakan) oleh manusia, yakni; kesehatan dan waktu.” Di dalam riwayat lain Nabi bersabda: “Bagi yang berakal, selama akalnya belum lagi terkalahkan (gila)berkewajiban mengatur waktu-waktunya. Ada waktu yang digunakan untuk bermunajat (berdialog dengan Tuhannya, ada pula untuk berfikir menyangkut penciptaan langit dan bumi (belajar), ada pula untuk melakukan evaluasi (intropeksi) terhadap dirinya, dan ada pula yang di khususkan untuk diri dan keluarganya guna memenuhi kebutuhan makan dan minumnya.” Semua munusia diliputi oleh kerugian yang besar dan beraneka ragam, demikian pula ayat kedua menyebutkan. Kemudian pada ayat ketiga dijelaskan bahwa yang tidak akan merugi adalah orang yang memiliki empat sifat yang dijelaskan pada ayat ketiga, yakni; a. Orang yang beriman b. Orang yang beramal shaleh c. Orang yang saling berwasiat (menasihat) tentang kebenaran; dan d. Orang yang saling berwasiat (menasihat) tentang kesabaran/ketabahan. · Pengertian iman Iman itu bisa kita artikan “pembenaran” tentu pembenaran disini masih bersifat umum. Pembenaran yang kita maksudkan adalah pembenaran hati terhadapa apa yang didengar oleh telinga dan dibenarkan pula oleh anggota badan. Dan juga pembenaran yang disampaikan oleh Nabi SAW . dimana telah kita ketahui rukun iman yang enam itu: a. Beriman (membenarkan) akan keesaan Allah. b. Beriman (membenarkan) adanya Malaikat. c. Beriman (membenarkan) kitab-kitab suci. d. Beriman (membenarkan) kepada nabi/Rosul Allah. e. Beriman (membenarkan) kepada Hari Kemudian (Akhirat) f. Beriman (membenarkan) kepada ketentuan baik dan buruk Setelah kita mengenal tentang rukun-rukkun iman tersebut, kita akan bisa membedakan peringkat dan kekuatan iman yang ada pada diri kita, bahkan kita dapat mengukur apakh iman kita sedang bertyambah ataupun berkurang (الإيمان يزيد وينقص) demikian lah yang purlu kita ketahui bahwa iman seseorang itu bisa bertambang dan berkurang. Sayyidina Ali k.w (karromallahu wajhah) pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’li Al-Yamani: Apakah Anda pernah melihat Tuhan anda? Lalu Ali menjawab: bagaimana saya menyembah sesuatu yang tidak saya lihat. Orang itu bertanya lagi: bagaimana Anda melihatnya? Imam Ali menjawab: Allah tidak bisa dilihat dengan pandangan mata, tetapi dapat dijangkau oleh pandangan hati dengan hakikat keimanan. Iman sangat sulit digambarkan hakikatnya; ia dirasakan oleh seseorang, tetapi sulit baginya melukiskan perasaan itu. Kerena itu sangat erat kaitannya dengan keyaqinan yang ada dalam diri kita (hati) Iman itu bagaikan rasa kagum atau cinta (senang), hanya orang yang sedang mengalami rasa cinta yang bisa merasakannya, begitu juga dengan iman, jika kita tidak pernah merasakan kecintaan kepada Allah tentu bagaimana kita bisa melukiskan iman itu ada pada diri kita. Demikian gambaran tentang arti dan hakikat iman. Kemudian orang yang tidak akan merugi itu yang kedua adalah orang yang beramal shaleh (perbuatan baik) · Beramal shaleh Amal shaleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan, maka suatu kerusakan akan terhenti atau menjadi tiada; atau bisa juga diartikan sebagai suatu pekerjaan yang apabila dilkukan akan memperolah manfaat, bukan hanya pada dirinya, tapi bagi orang disekitarnya. Orang bisa disebut orang shaleh apabila aktivitasnya mengakibatkan terhindarnya mudharat, atau pekerjaannya memberikan manfaat kepada pihak lain, serta pekerjaannya tersebut sesuai dengan ajaran Islam, akal dan adat istiadat yang baik. Kerena apaupun perbuatan yang kita lakukan di dunia ini, semuanya akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah nantinya, sebagaimana firman Allah: فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ Artinya: Dan barang siapa yang mengamalkan sebesar biji sawi dari kebajikan niscaya ia akan mendapat (ganjaran)-nya (QS: Az-zalzalah; 7) Secara langsung al-Quran tidak menjelaskan secara tegas apa yang dimaksud dengan amal shaleh, tetapi apabila ditelusuri contoh-contoh yang ada, seperti kata (الفساد) yaitu kerusakan, yang merupakan lawan kata dari kebaikan. Jadi orang yang menghindarkan dari berbuat kerusakan atau menghindarkan diri dari berbuat kerusakan kesemuanya juga dinamakan orang shaleh. Seperti yang dijelaskan di dalam Al-quran tentang orang yang disebut berbuat kerusakan: 1. Pengrusakan tumbuhan, generasi manusia dan keharmonisan lingkungan. (QS Al-Baqarah:205) 2. Tidakmaunya menerima kebenaran (QS Ali-Imran:63) 3. Perampokan, pembunuhan, dan gangguan keamanan (QS al-Maidah: 32) 4. Pengurangan takaran, timbangan, dan hak-hak manusia (QS al-A’raf: 86) 5. Usaha memecah-belah kesatuan (QS Al-anfal) 6. Berfoya-foya dan bermewah-mewah (QS Hud: 115-116) 7. Pemborosan (QS Asy-Syu’aro’:152) 8. Makar dan penipuan (QS An-naml:49) 9. Pengorbanan nilai-nilai agama (QS Ghafir:26) 10. Keweneng-wenangan (QS Al-Fajr: 12) Usaha-usaha untuk mencegah hal yang disebut diatas merupakan bagian dari amal shaleh; semakin besar usaha tersebut maka semakin tinggi pula nilai kualitas keimanan manusia, begitu juga dengan sebaliknya. Tetapi harus kita ingat, bahwa amal shaleh itu harus dibarengi dengan sifat yang pertama yang telah kita bahas diatas yakni Iman, kerena tanpa iman kepada Allah SWT amal-amal ini akan menjadi sia-sia belaka, sebagaimana firman Allah SWT: وَقَدِمْنَآ اِلَى مَا عَمِلُوْا مَنْ عَمِلَ فَجَعَلْنَاهُ هَبَآءً مَنْـثُوْرًا Artinya: Dan kami dahapi segala amal (baik) yang mereka kerjakan, lalu kamu jadikan amal itu (bagaikan) debu yang bertebaran. (QS: Al-Furqan: 23) Dalam menghadapi kehidupan dunia ini, Al-quran memerintahkan manusia agar melakukan kebaikan, serta melarang melakukan kemungkaran maupun kerusakan. Apabila orang telah mampu melakukan amal shaleh disertai dengan iman, maka ia telah memenuhi kedua dari empat hal yang harus dipenuhinya dalam rangka membebaskan dirinya dari kerugian total. Namun sekali lagi harus perlu diingat, bahwa menghiasi diri dengan kedua hal tersebut, baru membebaskan kita dari setengah kerugian; kerena masih ada dua lagi yang harus kita miliki agar kita benar-benar selamat dan beruntung serta terhindar dari segala kerugian. · Saling menasihat kepada kebaikan Hal yang ketiga untuk menghindarkan diri dari hal yang merugi yaitu; saling berwasiat (menasehati kepada kebaikan). Wasiat (menasehati secara umum diartikan sebagai “menyuruh secara baik” dalam makna yang lain mewasiati adalah; tampil kepada orang lain dengan kata-kata yang halus agar yang bersangkutan bersedia melakukan sesuatu pekerjaan yang diharapkan darinya secara berkesinambungan. Dengan demikian wasiat (menasihati) dapat dipahami bahwa isi dari nasihat itu hendaknya dilakukan secara terus-menerus, bahkan mungkin juga yang menyampaikannya juga melakukannya secara terus-menerus dan tidak bosan-bosannya menyampaikan nasihat itu kepada yang dinasehati. Di dalam Al-quran kita bisa temukan tentang dua macam wasiat, yakni; Wasiat Allah SWT Wasiat Allah itu antara lain adalah: 1. Pelaksanaan ajaran agama, serta bersatu padu dan juga tidak bercerai berai di dalamnya. 2. Bertaqwa kepada-Nya (QS An-nisa; 131) 3. Berbuat baik kepada kedua orang tua, khususnya kepada Ibu (QS Luqman: 14) 4. Sepuluh hal yang disebutkan dalam surat Al-An’am: a. Jangan mempersekutukan Allah b. Berbuat baik kepada kedua orang tua c. Jangan membunuh anak d. Jangan mendekati zina, baik secara terang-terangan maupun dengan cara sembunyi-sembunyi e. Jangan membunuh seseorang kecuali secara sah dan dibenarkan oleh agama f. Jangan menyalahgunakan harta anak yatim apalagi memakannya g. Menyempurnakan takaran dan timbangan h. Percakapan atau sikap hendaknya dilakukan secara benar dan adil walaupun merugikan orang lain i. Memenuhi perjanjian-perjanjian. 5. Beberapa perincian ajaran agama, seperti; a. Pembagian harta warisan (QS An-nisa’: 11) b. Shalat dan zakat (QS maryam: 31) Wasiat para Nabi Secara tidak langsung nabi Ibrahim dan nabi Ya’kub a.s. mewasiatkan agar berpegang teguh pada ajaran-ajaran agam, berusaha mengamalkannya secara terus-menerus, agar seseorang tidak dijumpai oleh kematian kecuali dalam keadaan menganut dan mengamalkan ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Al-quran: Artinya: dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". Demikianlah wasiat-wasiat yang dijelaskan oleh Al-quran yang tentunya merupakan wasiat kepada kebenaran, yang merupakan kandungan dari surat al-Ashr ayat tiga diatas. Hal yang ketiga ini menggambarkan bahwa seseorang berkewajiban untuk mendengarkan kebenaran dari orang lain, serta mengajarkannya kepada orang lain. Kita belum bisa dikatakan terlepas dari kerugian bila sekedar beriman, beramal shaleh, dan mengetahui kebenaran hanya untuk diri kita sendiri, tapi kebenaran yang kita ketahui seharusnya kita ajarkan (sampaikan) kepada orang lain, kerena ini merupakan kewajiban. · Saling menasihat kepada kebenaran Hal yag keempat atau yang terakhir dari penjelasan ayat al-ashr diatas yakni saling mewasiati (menasehati) kepada kesabaran. Sabar adalah “menahan kehendak hawa nafsu demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik”.Di dalam Al-quran bila kita amati, ternyata kebajikan dan kedudukan tertinggi diperoleh manusia kerena kesabarannya. Sebagaiman dijelaskan dalam Al-quran: وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ اَئِمَّةً يَهْدُوْنَ بِاَمْرِنَا لمَـَّا صَبَرُوْا Artinya: Dan kami jadikan di antara mereka, pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka bersabar. (QS As-sajadah:24) Dalam ayat yang lain Allah menjelaskan: إِنَّمَـا يُوَفَّى الصَّا بِرُوْنَ اَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ Artinya: Sesungguhnya hanya orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Az-zumar: 10) Dari ayat diatas dapat dipahami bahwa terdapat bermacam-macam kesabaran yang diharapkan ada pada diri manusia. Secara umum kesabaran dapat dibagi dalam dua bagian; sabar jasmani dan kesabaran rohani. 1. Sabar jasmani Sabar jasmani adalah kesabaran dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam melaksanakan ibadah haji yang mengakibatkan keletihan, atau sabar dalam peperangan dalam membela kebenaran. Termasuk pula sabar dalam menerima cobaan yang menimpah jasmani, seperti; penyakit, penganiayaan dari orang lain dan semacamnya. 2. Sabar rohani Sabar rohani adalah yang menyangkut kemampuan menahan kehendak hawa nafsu yang dapat mengantar kepada kejelekan, seperti; sabar dalam menahan amarah, dan juga sabar dalam menahan hawa nafsu seksual. Wasiat diatas mengandung makna bahwa kita dituntut, disamping mengembangkan kebenaran pada diri kita masing-masing, kita juga dituntut untuk mengembangkan pada diri orang lain. Kerena manusia itu bukan hanya sebagai makhluk individu, tetapi kita juga harus ingat bahwa kita ini makhluk sosial. Kita dituntut untuk memperhatikan teman disekeliling kita, sebagaimana teman kita juga diwajibkan untuk memperhatikan kita. Kita manusia ini saling berkewajiban untuk saling mengingatkan kepeda kebenaran dan kebaikan. Kita semua adalah satu kesatuan, tolong menolong dalam satu perjuangan serta saling mendukung, kerena jika hal itu tidak ada niscaya kita akan rugi, bukan hanya diri kita sendiri, tapi orang lain juga. Rosul telah menggambarkan keadaan ummat seperti keadaan penumpang perahu (kapal), apabila penumpang yang ada di geladak kapal menimbahkan air dengan membocorkan perahu, sedangkan penumpang yang lain membiarkannya, maka sudah dapat dipastikan perahu akan kemasukan air dan tenggelam; dan ketika itu yang tenggelam bukan hanya yang membocorkannya, tetapi semua penumpang yang ada di dalamnya. Di dalam surat al-ashr ini secara keseluruhan berpesan agar seseorang itu tidak hanya mengandalkan imannya saja, tetapi amal shaleh, bahkan amal shaleh dan imanpun belum cukup, kerena kita masih punya kewajiaban yakni; seling memberi wasiat (nasihat) kepada kebenaran dan kesabaran kepada sesama kita. Dalam rangka memperolah kebaikan itu dibutuhkan peningkatan pengetahuan dan dalam rangka memperolah pengetahuan kita dituntut untuk bersabar dan ketabahan. Iman dan amal shaleh tanpa ilmu pengetahuan belum juga cukup, sebagaimana dijelaskan oleh Murthada Muthahhary: “ilmu memberi kekuatan yang menerangi jalan kita dan iman menumbuhkan harapan dan dorongan bagi jiwa kita. Ilmu menciptakan alat-alat produksi, sedangkan iman menetapkan haluan yang dituju serta memelihara kehendak yang suci. Ilmu dan iman keduanya merupakan kekuatan; kekuatan ilmu terpisah, sedangkan kekuatan iman menyatu. Keduanya adalah keindahan dan hiasan; ilmu adalah keindahan aqal, sedangkan iman keindahan jiwa; ilmu hiasan fikiran dan iman hiasan perasaan. Keduanya menghasilkan ketenangan, ketenangan lahir akan kita dapatkan dari ilmu, dan ketenangan batin oleh iman. Ilmu memelihara manusia dari penyakit-penyakit jasmani dan malahpetaka duniawi, sedangkan iman memeliharanya dari penyakit-penyakit ruhani dan kejiwaan serta malapetaka ukhrawi. Ilmu akan menyesuaikan manusia dengan diri dan lingkungannya, sedangkan iman menyesuaikannya dengan jati dirinya.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hukum Mencuri Dalam Islam :

Hukum Mencuri Dalam Islam : Maksud mencuri dari segi syarak: Mengambil harta milik orang lain secara sembunyi-sembunyi dari harta yang dijaga dengan syarat-syarat tertentu. Dari definisi mencuri di atas,mencuri adalah mengambil harta secara sembunyi-sembunyi.Oleh itu tidak dikatakan mencuri jika seseorang itu merompak,menggelap wang syarikat (pecah amanah),merampas dan meragut. Dalil Wajib Potong Tangan Pencuri Firman Allah: وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ فَمَن تَابَ مِن بَعْدِ ظُلْمِهِ وَأَصْلَحَ فَإِنَّ اللَّهَ يَتُوبُ عَلَيْهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ Lelaki yang mencuri dan wanita yang mencuri,potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri,maka sesu

Ilmu nahwu

Ilmu nahwu Ilmu an-Nahwu ( Arab : ﻋﻠﻢ اﻟﻦحو ‎; bahasa Indonesia : nahu, sintaksis ; bahasa Inggris : syntax ) merupakan salah satu bagian dasar dari ilmu tata bahasa bahasa Arab untuk mengetahui jabatan kata dalam kalimat dan bentuk huruf/harakat terakhir dari suatu kata. Asal Usul Ilmu Nahu Asal-Usul Ilmu Nahu       Setelah Islam tersebar ke merata dunia dan meluasnya kekuasaan kerajaan Islam, ramai pemeluknya dari kalangan orang yang bukan arab, sehingga penggunaan bahasa arabpun semakin meluas di kalangan masyarakat, yang merupakan punca kesalahan dalam bahasa. Hal demikian memaksa para ulamak zaman itu mencipta kaedah-kaedah bahasa untuk membendung kesalahan yang sangat menonjol, lebih-lebih lagi dalam hal-hal yang berkaitan dengan Al-Quran dan ilmu-ilmu Islam yang lain. Telah dicatatkan bahawa di antara pakar-pakar Nahu pada masa itu adalah Abdullah bin Ishaq (wafat 730 M), Abu Al-Aswad Al-Du’ali (wafat 688 M), Al-Farahidi (wafat 791 M) dan Sibawaihi (w

Pinjam Meminjam dalam Islam

Pinjam Meminjam dalam Islam Pengertian Pinjam Meminjam Pinjam meminjam dalam istilah fikih disebut ‘ariyah. ‘Ariyah berasal dari bahasa Arab yang artinya pinjaman. ‘Ariyah adalah pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharap imbalan dengan tidak mengurangi atau merusak barang dan dikembalikan secara utuh, tepat pada waktunya. Semua benda yang dapat diambil manfaatnya dapat dipinjam atau dipinjamkan. Peminjam harus menjaga barang tersebut agar tidak rusak, atau hilang. Peminjam hanya boleh mengambil manfaat dari barang yang dipinjam. Sebagai bentuk tolong menolong, pinjam meminjam merupakan bentuk pertolongan kepada orang yang sangat membutuhkan suatu barang. Pinjam meminjam dalam kehidupan sehari-hari dapat menjalin tali silaturrahim, menumbuhkan rasa saling membutuhkan, saling menghormati, dan saling mengasihi. Oleh karena itu dalam masyarakat Islam, pinjam meminjam harus dilandasi dengan semangat dan nilai-nilai ajaran Islam. Allah SWT memberi